Didit sudah sampai di warungnya babe Rawis tepat pada pukul delpan malam. Babe Rawis sempat bertanya kenapa ia datang sendirian dan tidak bersama dengan ketiga sahabatnya namun Didit hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin lain waktu Didit akan menceritakannya kepada babe Rawis kalau ia tidak lupa. Didit itu kadang suka lupa, dan hal itu memang sudah menjadi salah satu sifatnya.
Ponsel Ara yang berada di saku kemejanya kembali bergetar menampilkan nama Abi Fuck. Didit mengangkat panggilan tersebut dengan senyum di bibir.
"Asssalamualaikum mertua. Ada apa?"
"MERTUA GUNDULMU! Kamu dimana sekarang? Warung Babe Rawit gak ada di google maps. Saya gak bisa nyari warungnya. Dari tadi muter- muter terus. Kamu mau ngerjain saya ya?"
Didit menepuk jidatnya, ia baru ingat kalau warungnya babe Rawis itu sangatlah eksklusif hingga yang tahu hanyalah orang- orang penting, termasuk dirinya dan juga ketiga sahabatnya.
"Aduh- aduh maaf om. Saya lupa. Ya sudah saya bagi lokasi aja kalau begitu."
"Dari tadi kek!" Dumel abi Ara dengan suara kesal.
"Saya masih muda om bukan kakek kakek. Jangan panggil saya kek dong. Panggil saya calon mantu gitu. Biar lebih akrab." Didit tertawa geli karena ia tahu sekarang pasti abi Ara benar- benar ingin menaboki kepalanya dengan ganggang pacul.
Hahaha biar saja. Salah siapa tidak bisa santai. Jadi orang tuh jangan terlalu serius. Serius itu monoton kalau di lakukan terus menerus. Lebih baik santai. Hidup itu indah kok. Jadi jalani aja apa yang sekarang yang ada. Boleh serius, asal tepat pada hal- hal tertentu.
Didit jadi berfikir. Gimana ya wajah serius abi Ara sewaktu dia lagi beol. Apakah semenyeramkan kuntilanak atau lebih parah? Uluh- uluh bikin usus perut jadi keriting deh kalau ngebayangin itu.
"Kamu ngeles aja bisanya kayak pantat bajai."
Dan kali ini Didit tertawa lepas, "Nah gini dong om kan lucu. Jangan serius- serius lah jadi orang tuh."
"Bodo amat saya gak ngurus sama omongan kamu."
"Yah jangan gitu dong om. Om kan baik hati dan tidak sombong."
"Warung babe Rawit warna apa? Lantai dua ya? Saya udah sampai di depan lestoran." Kata Abi Ara di sebrang sana.
Sontak saja Didit keluar warung untuk memastikan bahwa abi Ara sudah berada di depan warung. Dan benar saja ada sesosok laki- laki yang sedang menempelkan ponsel di telinganya sambil menatap lestoran yang ada di depannya.
"Om salah om. Itu bukan warungnya babe Rawis. Warungnya babe Rawis yang di sebelahnya. Coba deh om tengok ke kanan." Kata Didit dengan senyum lebar karena setelahnya abi Ara kemudian menoleh ke arahnya.
Didit melambaikan tangannya pada abi Ara, "Om ke sinilah. Jangan terpana ngelihat saya. Saya tahu kok kalau saya itu ganteng walaupun dilihatnya dari kejauhan. Di lihat dari bolongan sedotan aja tetap ganteng."
"Bocah sableng." Kata abi Ara lalu memutuskan panggilannya dan kemudian berjalan menghampiri Didit.
Pelan namun pasti wajah abi Ara mulai terlihat jelas di mata Didit. Dan benar laki- laki paruh baya itu mempunyai wajah tegas dengan jenggot tipis yang menghiasi dagunya. Malam ini abi Ara mengenakan kemeja santai dengan celana bahan berwarna coklat.
Ini kali pertama Didit bertemu dengan Abi Ara. Didit sama sekali tidak takut ataupun cemas saat abi Ara berdiri tepat di depannya dengan tatapan dan juga wajah sangar. Sebaliknya, Didit membalas tatapan tajam itu dengan tersenyum lebar bahkan hingga menampilkan jajaran giginya yang putih.
![](https://img.wattpad.com/cover/98968607-288-k752188.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Adipati [END]
Fiksi Remaja[BOOK TWO] Private Acak Boyfriend Goals Series "Aku sayang kamu Ara. Menjad pacar mu adalah sesuatu yang saat ini aku inginkan. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Karena aku sangat ingin melindungi kamu sebagaimana kamu melindungi ku. Aku ingin status ya...