2. Side Story (2/3)

3.5K 188 10
                                    

Sore itu aku melihatnya dibalik jendelaku, seorang pemuda yang tidak aku kenal. Aku bukanlah orang yang suka memperhatikan tingkah laku seseorang namun kali itu aku duduk hampir satu jam hanya untuk melihat pemuda itu bermain dengan anak-anak yang ada di taman. Aku tidak bisa melihat bentuk wajahnya atau senyuman yang menghiasi wajah itu namun tawa anak-anak yang begitu keras sambil berlarian kesana kemari membuatku tahu bawa pemuda itu memiliki wajah yang ramah. Aku melihatnya duduk lalu ia seperti sedang menceritakan sesuatu kepada anak-anak itu, tangannya bergerak dengan bebas diikuti oleh antuasime anak-anak yang duduk dengan tenang mendengarkan suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Aku berfikir ibu-ibu itu pasti sangat terbantu.

Pemuda itu akhirnya melambaikan tangannya, sepertinya ia akan pamit untuk pulang. Pemuda itu berjalan menuju kursi taman lalu mengambil barang yang ia taruh disana. Aku kaget, ternyata barang yang ia beli sama dengan perlengkapan ospek yang ditugaskan panitia ospek fakultas. Apa mungkin ia mahasiswa baru dari fakultas yang sama denganku. Kalau memang bener, pasti menyengkan punya teman seperti dirinya.

Fiuuh... aku bicara apa sih. Kenapa aku berharap yang tidak-tidak. Walau kami satu fakultas mana mungkin aku bisa berkenalan dengan seorang cowok. Aku hanya seorang gadis berkacamata yang pemalu. Menatap dari balik jendela memang membuatku membayangkan yang tidak-tidak.

***

Ya tuhan kenapa aku bisa kesiangan sih, Kenapa hari pertama ospekku harus jadi seperti ini. Aku berlari dari gerbang depan sampai ke gedung fakultas. Nafasku tersengal-sengal namun aku tidak bisa berhenti menggerakkan kaki ini, aku tidak mau merusak ospek hari pertamaku dengan hukuman.

"Mahasiswa baru yang terlambat berbaris di depan saya," Teriak seorang senior. Dugg... jantungku terasa mau copot, ini memang salahku, aku seharusnya bisa bangun lebih cepat, aku merusak hari pertamu di kampus ini.

"Pasang semua atribut yang telah ditugaskan. Name tag, rambut mahasiswi harus diikat dengan pita, tas ransel berwarna hitam, dasi dan topi kerucut. Mahasiswa baru yang tidak membawa atribut lengkap buat barisan baru di kanan barisan ini," teriak sang senior.

Aku panik, aku mengecek atribut yang ditugaskan kakak-kakak panitia. Untunglah tidak ada yang ketinggalan. Aku melihat kearah kanan tapi tidak ada satupun yang membuat barisan baru di tempat itu berati semua mahasiswa yang terlambat menggunakan atribut yang lengkap.

"Hey, hey," seorang mencolek bahuku. Aku langsung menoleh kaget.

"Topimu," tunjuk seorang mahasiswi baru kearah kepalaku.

Aku langsung memegang kepalaku. Tidak... topiku mana? Aku langsung panik memeriksa tas ranselku tapi aku tidak menemukan topiku juga. Seingatkau aku membawa topi itu, aku langsung memakainya saat aku diantar oleh kakak kost saat perjalanan kekampus tadi. Bagaimana ini, bisa-bisa hanya aku yang tidak menggunakan atribut lengkap. Rasanya aku mau menangis ya tuhan.

Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh kepalaku. Aku langsung memegang kepalaku dan seuah topi sudah bertengger di sana. "Topi," kataku dalam hati. Lalu aku melihat seorang pemuda yang juga seorang mahasiswa baru tersenyum di sampingku.

"Kenapa..." belum sempat aku berbicara seorang senior langsung menunjuk kearahku. Aku panik.

"Eh Kamu... mana topimu?" bentak sang senior.

"Maaf kak, topi saya ketinggalan," mahasiswa di sampingku menjawab dengan lantang. Bukannya topinya sekarang sedang berada di atas kepalaku. Kenapa dia memberikannya kepadaku, aku tidak mau kesalahanku dilempar menjadi kesalahan orang lain.

"Kalau begitu silahkan buat barisan baru di sana, cepat!" perintah senior berwajah galak.

Tidak... aku bukan orang yang melempar kesalahanku kepada orang lain. Ini bukan topiku. Ini topi pemuda itu.

"Kak..."

"Sssttt..." pemuda itu memotong ucapanku lagi.

"Ini topimu bukan? Ini bukan topiku," bisikku.

"Pakai saja nanti aku ceritakan," kata pemuda itu. "kita juga masih satu jurusan jadi pasti ketemu lagi," lanjutnya sambil menunjuk tulisan di name tag yang ternyata kami dari jurusan yang sama.

"Tapi..."

"Sudah, akan lebih keren kalau cowok sepertiku berdiri sendiri di sana," tunjuk pemuda itu kearah tempat yang masih kosong.

"Tapi..."

"Sampai ketemu nanti..."

Siapa dia? Aku lupa melihat namanya. Kenapa dia membantuku? Aku benar-benar bingung. Rasanya aku ingin berkata kepada panitia bahwa aku yang tidak membawa topi tapi mulutku tak bisa berkata apa-apa. Senior itu lalu berjalan menuju pemuda yang tadi menolongku. Ia mulai dibentak dengan keras lalu disuruh berlari keliling lapangan fakultas. Ini semua salahku.

"Gimana ini, aku takut kesana," aku menoleh dan mendapati seorang gadis berbadan mungil tidak membawa topi. Karena tubuhnya yang mungil ia tidak tampak dari luar barisan.

"Udah ngaku aja daripada nanti kena hukuman lebih," ujar gadis yang lain memberi saran.

"Tapi aku takut,"

"Ya udah pakai ini aja beb tapi gak gratis ye?" kata seorang pemuda yang tampak agak sedikit kemayu. Perhatianku malah teralihkan oleh obrolan mereka.

"Buat aku?" kata gadis bertubuh mungil itu.

"Yoi tapi gak gratis ye, nanti kalau ada tugas aku minta kamu yang kerjain punyaku. Ok?" kata pemuda kemayu itu.

Gadis itu mengangguk senang.

"Ya udah nih dipakai jangan sampai ilang. Aku mau lari sama bebeb Adi yang ganteng dulu, Bye," kata Pemuda kemayu itu. "Kak, aku gak bawa topi juga loh!" Pemuda itu keluar dari barisan lalu langsung diperintahkan lari sama seperti pemuda sebelumnya.

"Bebeb Adi? Apa mungkin pemuda sebelumnya namanya Adi?" batinku. Aku tidak bisa apa-apa sekarang tapi seperti yang pemuda kemayu itu bilang bahwa kebaikan itu harus aku balas.

Namun aku masih bingung, kenapa dia memberikan topinya kepadaku. Pasti ada alasannya?

(Apa kalian masih lucu kalau sedang penasaran?")

***

Celana Dalam Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang