—Fe
Pertama kali aku bertemu dengannya adalah dua tahun yang lalu.
Waktu itu aku masih berstatus mahasiswa baru yang cupu dan beler karena harus bangun pagi-pagi buta demi datang ke kampus untuk ospek fakultas, sementara Bram adalah kakak galak dalam balutan almamater dan slayer hitam yang terikat rapi di lengan kanannya—tanda panitia divisi Ketertiban Umum atau biasa disingkat Tibum.
Teman-temanku memberinya sebutan Kakak Tibum Krim, kadang ditambahin keterangan Yang Ganteng Itu Lho.
Ya... oke.
Aku dan Bram dipertemukan semesta pada suatu pagi yang dingin di hari pertama ospek karena ke-kurang-kerjaan dia yang menarikku dari barisan. Ini terjadi akibat (menurutnya tentu saja) atributku yang nggak sesuai dengan peraturan yang sudah disampaikan kepada maba melalui mentor masing-masing, seminggu sebelum acara ospek ini berlangsung.
Padahal, nggak sesuai apanya coba? Aku udah mengenakan atasan putih berkerah, bawahan hitam non-jeans, rompi oranye bertuliskan namaku, nama jurusan, dan nama fakultas kami; plus sebuah slayer oranye di lengan kanan. Apa yang nggak sesuai? Semuanya lengkap sesuai dengan peraturan yang telah disampaikan.
"Nona, kamu tau salah kamu apa?" tanyanya dengan ekspresi dan nada yang dibuat sok tegas dan dalam. Mahasiswa baru FISIP memang memiliki panggilan khusus dari segenap kakak-kakak panitia ospek ini. Untuk maba perempuan, panggilannya Nona dan untuk maba laki-laki panggilannya adalah Bung.
Keren ya?
"Nggak, Kak" jawabku jujur.
"Liat sepatu kamu," ia menggestur ke arah sepatuku. "Menurut kamu itu hitam atau bukan?"
Aku mengikuti gesturnya dan merunduk memperhatikan sepasang sepatu Converse yang kukenakan hari ini. Well, warnanya emang udah sedikit memudar tapi memangnya dia se-buta warna itu ya sampai harus mempertanyakan ini sepatu warnanya hitam atau bukan?
"Hitam, Kak"
Bram tertawa mencemooh. Idih? Ngeselin?
"Yang kayak gitu kamu bilang hitam?" ujarnya dengan intonasi yang naik satu tingkat.
Aku mengangguk santai. "Iya, Kak. Ini emang hitam. Saya nggak buta warna kok"
Seketika aku bisa melihat ekspresi wajahnya menggelap. "Maksud kamu saya buta warna?" tukasnya tajam.
Ye, aku nggak bilang begitu ya. Dia yang ngerasa berarti. Ya bagus deh, sadar akan kekurangan diri sendiri.
"Nona, kalau saya bertanya itu dijawab! Kamu pikir saya buta warna?!" bentaknya.
Aku pun tersentak kaget. Buset, ini orang gitu aja naik pitam. Darah tinggi apa gimana?
Kupejamkan mataku untuk sesaat kemudian kutarik nafas dalam-dalam. Sial banget sih, pagi-pagi belum sarapan belum apa udah kena bentak Tibum. Salah apa aku sama semesta?
"Nggak tahu, Kak" jawabku akhirnya. Tanganku mulai dingin, dan dahiku berkeringat.
Bukan, bukan. Ini bukan karena efek dimarahi olehnya. Kalau itu sih aku udah mempan, tiga tahun SMA menghadapi senior-senior kayak Bram ini bikin aku kenyang asam garam dimarahi dan dilabrak. Dinginnya tanganku dan keringat yang membasahi dahiku ini adalah reaksi tubuhku kalau berdiri kelamaan, apalagi ditambah dengan fakta bahwa perutku kosong karena belum sempat sarapan tadi.
Inilah alasan kenapa aku nggak pernah kuat upacara bendera tiap Senin. Damn you low blood pressure.
"Kamu meledek saya?!" Bram membentak lagi. Tuhan, bisa nggak sih ini orang nggak usah teriak-teriak, DI DEPAN MUKAKU. Mind you. Dia teriak persis di depan mukaku. Hujan lokal deh, hhh...

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...