—Fe
And still, it's hard.
Ternyata, masih sangat sulit bagiku untuk bertatap muka lagi dengan Kak Bram setelah semua yang terjadi belakangan ini. Kepalaku masih dipenuhi ketakutan-ketakutan irasional tiap kali mataku beradu dengan manik bulan sabitnya dalam pertemuan-pertemuan tidak sengaja di koridor FISIP, Takor, Kopma, maupun ruang publik lain yang menjadi tempat kami beredar sehari-hari.
Mungkin aku masih takut untuk memulai lagi, mungkin aku takut tersakiti lagi, mungkin juga aku takut akan keduanya.
Aku menghela nafas dan memeluk lututku. Suhu Jakarta sore ini cukup dingin dengan langit yang sudah menggelap dari pagi. Meski begitu, hal ini nggak menghalangiku untuk bangkit dari kasur dan melakukan agenda rutin mingguanku mengunjungi makam Evan di bilangan Jakarta Selatan.
Ditemani setangkai bunga matahari, dan kali ini juga, sebungkus rokok yang kubeli di pintu masuk makam, kembali aku menumpahkan segala keluh, kesah, dan penat pada mendungnya langit ibukota—berharap Evan, di mana pun ia berada, bisa mendengarku juga dari sini.
"Gue harus gimana, Van..." aku menggumam lirih memulai monologku. "Gue masih nggak bisa ketemu dia lagi setelah apa yang dia lakuin kemaren. I want to, and I know I have to... it's just..." kubiarkan kalimatku menggantung di udara seraya aku menghela nafas panjang.
Tanganku terulur untuk mengambil bungkus rokok yang tergeletak di atas tanah dan membukanya untuk yang pertama kali sore ini. Kuambil sebatang dan kuselipkan di antara jemariku tanpa menyalakannya sama sekali.
"Lo tau 'kan Harris sama gue sempet berantem kemaren?" ujarku melanjutkan. "Well, kita udah baikan sih... terus terakhir gue ketemu dia, dia bilang ke gue kalo gue nggak boleh denial lagi sama perasaan gue..."
"Am I in denial? With you? With him?" aku bertanya seraya memutar-mutar batang nikotin itu di jemariku. "Sama lo, at least, gue tau kalo gue sayang lo. Ironically, to death" aku tertawa miris atas lelucon yang kubuat sendiri. "Sama Kak Bram... gue kira gue udah cukup siap untuk sayang sama dia. Tapi kayaknya gue salah ya, Van?"
"Gue harus apa?" aku menghela nafas panjang dan meletakkan daguku di atas kedua lutut. "Gue tau dia berusaha reach out ke gue untuk minta maaf dan jelasin semuanya, tapi gue masih nggak bisa. I don't know if it's fear... or something else..."
Sepoi angin menerbangkan anak rambutku, mengajaknya menari dengan ringan dan menggelitik sisi wajahku.
"Kenapa lo harus pergi sih? Kadang gue suka mikir, semuanya pasti lebih simple kalo lo masih di sini. I could just stuck with you, you know, I'd happily do that" gumamku pelan.
"I know I said I'll let you go, tapi lo tau? Bahkan setelah dua tahun kepergian lo, gue masih nggak bisa makan udang dan masih segan buat ngerokok lagi—look, gue bahkan nggak nyalain ini daritadi 'kan" aku mengangkat tangan untuk menatap rokok yang terselip di sana lebih dekat.
"I guess missing you has really become my comfort zone. It's hard to drag myself out of it" lirihku hampa.
Tepat setelahnya, aku bisa merasakan ponselku bergetar dua kali di saku jaketku. Aku merogohnya dan menemukan satu chat LINE dari Harris terpampang di layar.
[LINE]
Harris Hastaman
Fe
Lo lg dmn?
Kedua alisku terangkat membacanya. Ada apa nih? Tumben Harris tau-tau nge-chat nanya lagi di mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...