—Fe
Hujan.
Seharusnya aku sudah bisa memperkirakan ini.
Sedetik setelah Kak Bram memarkirkan motornya di depan warung tenda seafood (yang seharusnya jadi tujuan kami sejak 2 jam yang lalu), rangkaian tetesan air dari langit Depok yang mendung menyambut kami berdua. Jadilah, aku dan dia, tanpa melepaskan helm dari kepala masing-masing, berlari kecil ke dalam tenda demi menghindari nasib pulang dengan tubuh basah kuyup.
"Hah," Kak Bram menghela nafas kemudian tertawa. "Untung pas nyampenya" ujarnya melepas helmnya dan menyeka bulir air yang menghiasi jaketnya.
"Iya. Telat dikit aja kita bakal basah kuyup sampe sini" sambutku sembari mengikuti gerakannya melepas helm.
"Mau pesen apa?" tanya Kak Bram sembari memperhatikan etalase kaca kecil yang membatasi area duduk pengunjung dengan 'dapur' seadanya dari tempat makan ini. "Ada ikan, cumi, udang, kepiting, kerang..."
"Kerang." sahutku tanpa pikir panjang, mengalihkan tatapan dari deretan krustasea yang terpajang di etalase tersebut.
Kak Bram mengangkat alisnya. "Ijo atau dara?"
"Dara aja"
"The Virgin?" ia menyempatkan diri untuk bercanda (sebuah tindakan yang hanya membuatnya kuhadiahi satu geplakan ringan di lengan), sebelum memanggil mas-mas pelayan warung ini.
"Mas, kerang dara satu, udang satu, teh anget satu..." ia berhenti lalu menatap gue sesaat. "Minum lo apa, Fe?"
"Uh... es jeruk deh"
"...Sama es jeruk satu" ia menyelesaikan pesanannya.
Si Mas tersebut mencatat semuanya di atas sebuah notebook mini dengan pensil yang dihiasi lilitan karet di ujung satunya lalu mengangguk cepat. "Makan sini?"
"Iya, makan sini."
"Pake nasi?"
"Pake. Eh, Fe lo pake nasi nggak?" tanyanya lagi kepadaku.
"Hah? Pake, pake"
Si Mas kembali mencatat tambahan pesanan tersebut di notebook mininya. "Udangnya saos apa?"
"Padang," jawab Kak Bram tanpa berpikir panjang.
"Kerangnya?"
Ia melirik ke arahku sekilas, seolah memberikanku kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu sendiri.
"Samain aja"
Si Mas mengangguk lagi dan mencatat di notebook mininya. "Satu udang saos padang, satu kerang, nasi, teh anget, es jeruk. Makan sini?"
Aku dan Kak Bram mengangguk bersamaan.
"Ditunggu ya" ucapnya kemudian berbalik untuk mempersiapkan makan malam kami.
Kak Bram membawaku duduk di salahsatu meja panjang yang disusun seadanya di dalam tenda. Ia kemudian melepas ransel hitamnya dan mengeluarkan sebungkus rokok yang tampak masih penuh dari salah satu kantung tas tersebut. Black Menthol, aku sempat mengintip bungkusnya.
"Lo tau nggak kalau mesin crane yang tadi di Timezone itu sengaja dirancang buat meres duit pengunjung?" ia membuka pembicaraan sambil menyalakan sebatang rokok tersebut.
"Maksudnya?"
"Ada settingannya. Berapa kali gagal sampe si crane-nya itu bisa bener-bener mencengkram bonekanya. Dan itu berpola. Misal, 5 kali gagal terus 1 kali berhasil" jelasnya.
"Berarti tadi kita pas lagi beruntung dong? Kan kita nggak tau apa pas kita main si mesin masih ada di sekuens gagal atau berhasilnya?" balasku dengan alis terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...