—Bram
Gue beneran nggak tahu benang merah macam apa yang sedang digerakkan oleh Tuhan sampai-sampai gue bisa bertemu lagi dengan Fe sore ini di kereta.
Well, nggak secara teknis bertemu sih tapi dia ada di sana, memandang ke arah luar jendela dengan tatapan kosong—tangan kiri memeluk tasnya erat, sementara tangan kanan berpegangan pada handle kereta. Sepasang headset tampak tersangkut di kedua telinganya.
Dia nggak menyadari kehadiran gue di antara kerumunan ibu-ibu pejuang Tanah Abang yang memadati gerbong KRL di hari Minggu ini.
Ngomong-ngomong ya, gue nggak pernah paham sama kekuatan magis yang dimiliki Tanah Abang sampai tempat itu bisa jadi tempat favorit hampir seluruh ibu-ibu Jabodetabek buat menghabiskan akhir minggunya.
Asli, tadi 'kan gue transit di sana, nggak ada bedanya anjir itu stasiun sama cendol—isinya orang semua. Kalo aja si Rexy nggak lagi masuk bengkel pagi tadi, mungkin sekarang gue udah menikmati semilir angin sore berdua dengannya menyusuri jalan dari Bintaro ke Depok, dan bukannya saling sikut di gerbong kereta melawan ibu-ibu dengan kresek mereka yang segede Balairung kampus gue.
Anyway, balik lagi ke Fe. Dia dari mana ya? Kok tumben naiknya nggak dari Cikini?
Cia. Tumben. Kayak udah sering aja gue ketemu dia di kereta. Padahal baru dua kali, sama yang sekarang.
Gue baru aja hendak beringsut untuk menghampiri Fe dan menyapanya, saat gue menyadari ada sesuatu yang aneh dengan kondisi dia saat ini. Dari jarak pandang gue sekarang, gue bisa melihat ada seorang lelaki yang kayaknya berusia di akhir 20-an berdiri di belakang Fe dengan posisi yang terlalu dekat bagi orang normal manapun yang lagi naik kereta.
Kenapa gue bilang aneh? Karena Fe nggak keliatan kayak kenal sama orang ini. Buktinya dia masih bergeming di posisinya, bengong menatap ke arah luar kereta dengan kedua telinga tersumbat headset—nggak menyadari bahwa daritadi tubuhnya dipepet dari belakang oleh seorang laki-laki asing.
Gue mengerenyit sembari terus memperhatikan lelaki tersebut. Perasaan gue nggak enak.
Ketika speaker kereta mengumumkan pemberhentian selanjutnya, saat itulah kecurigaan gue terbukti. Pria itu secara luwes, hampir nggak ketara oleh mata normal, menurunkan satu tangannya yang daritadi menggenggam erat handle kereta. Ia tampak nggak berdosa saat meletakkan tangan laknatnya itu di...
Wah, anjing.
Gue nggak bisa nih yang kayak gini-gini. Bangsat.
Dengan agak tergesa gue pun bergerak menghampiri lelaki itu, menembus serangkaian ibu-ibu yang memberi gue tatapan sinis saat gue terpaksa menyikut mereka demi mencapai tujuan gue.
Maaf, Bu. Keadaan darurat ini. Ada PK yang harus saya hajar sekarang, daripada ibu nyinyirin saya mending ibu bantuin saya hajar dia gimana.
"Maaf mas," gue berujar dingin sambil mencolek bahu si brengsek itu.
Ia menoleh kaget ke arah gue dan hampir serta merta menghentikan aksinya. Tanpa basa-basi lagi, gue pun langsung menggunakan kesempatan itu untuk menarik tangannya kasar dan memelintirnya dengan derajat puntiran yang sedikit gue lebihin dari batas toleransi engsel tangan manusia.
Lelaki itu memekik tertahan. Beberapa penumpang pun menoleh ke arahnya, termasuk Fe yang melepas sebelah headset-nya untuk menoleh ke belakang. Ekspresinya menegang saat ia akhirnya menyadari betapa daritadi ada seorang lelaki di belakangnya yang tengah melakukan hal-hal nggak senonoh terhadapnya.
Gue tersenyum tipis, bermaksud menyapanya. Tapi, kedua mata Fe malah membesar saat bertemu dengan mata gue. Kaget lagi 'kan itu anak. Hadeh.
"Sesaat lagi kereta akan tiba di Stasiun Duren Kalibata..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
Chick-LitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...