—Fe
Aku masih ingat ketika akhirnya aku tersadar dari pingsanku hari itu, pemandangan pertama yang harus aku saksikan adalah segerombolan manusia ber-slayer dan ber-rompi oranye lagi baris mengikuti punggawa dengan slayer merah di lengan kanannya. Barisan panjang itu diawasi di sisi kanan dan kiri masing-masing oleh seorang Tibum, memastikan mobilisasi massal tersebut berjalan lancar dan nggak ada maba yang keluar barisan.
Aku mengenali salahsatu Tibum itu. Ya siapa lagi kalau bukan orang yang tadi membentakku habis-habisan sampai aku harus pingsan begini. Ia berdiri di situ dengan ekspresi datar yang sama seperti tadi pagi, sesekali berseru tegas menyuruh para maba untuk berjalan lebih cepat.
"Nona ayo dipercepat langkahnya"
"Jangan sampai tertinggal barisan, Bung. Ayo cepat, cepat!"
Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suaranya yang sumpah ngeselin itu dari dalam ruang medis.
Saat tengah asyik memperhatikan keriuhan tersebut, dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapan kami berdua pun bertemu. Aku menatapnya datar, sebagaimana ia menatapku dingin.
Hih, mau mengintimidasi aku ceritanya? Hayuk sini aku jabanin.
Selama beberapa detik setelahnya, kami menghabiskan waktu untuk saling bertatapan. Ia sambil mencengkram HT di depan mulut, dan aku sambil bersender di tembok ruangan medis. Untung aja nggak lama setelahnya, ia langsung cabut dari hadapanku seiring dengan berakhirnya rombongan maba yang lewat depan sini.
Ngomong-ngomong ya, siapapun yang punya ide menggunakan ruangan dengan pintu kaca ini sebagai ruang medis emang bener-bener cerdas.
Lol no who am I kidding.
Siapa sih yang punya ide untuk menampung para maba yang tepar nggak berdaya di ruangan yang bisa dilihat oleh siapapun yang lagi lalu lalang di depannya? Maksudku, begini lho; memangnya enak ya kalian lagi sakit terbaring dengan kondisi yang nggak elok, bahkan nggak sadarkan diri gitu terus orang-orang bisa ngeliat kalian dari luar. Biar apa gitu? Memangnya ini etalase barang.
"Eh, kamu... udah bangun rupanya. Gimana? Udah enakan?"
Aku mendongak saat seorang kakak dengan slayer hijau menghampiriku. Tampaknya dia dari divisi medis ya, karena daritadi kakak-kakak punggawa yang stand by di ruangan ini slayernya warna hijau.
"Lumayan, Kak. Tapi masih lemes sih... dikit" aku tersenyum tipis.
Ia membalas senyumku ramah kemudian mengangsurkan segelas teh manis hangat dan sekotak styrofoam yang kalau tebakanku sih berisi bubur ayam.
"Nih, minum dulu. Sama ini nanti dimakan aja, ini buat kamu kok. Kamu belum sarapan ya tadi pagi? Besok-besok sempetin sarapan ya sebelum berangkat. Sayang lho jadi ketinggalan acara" ujarnya dengan ramah. "Terus itu, tas kamu kan? Aku taro situ ya. Tenang, isinya masih utuh kok" ia tersenyum sambil menunjuk ransel biru muda di sudut ruangan.
Nah gini lho jadi panitia tuh, nggak usah marah-marah bentak-bentak kayak si Kakak tadi pagi. Kan enak jadinya.
Aku memangku kotak styrofoam itu kemudian mengangguk. "Iya, Kak. Makasih ya, Kak"
"Sama-sama. Nanti kalo sekiranya kamu udah kuat, bilang aja ke kakak medis yang jaga atau ke aku juga gapapa. Biar kita anter kamu lagi ke barisan" ia kemudian bangkit, namun sebelum berlalu ia menyempatkan diri untuk berbalik. "Oh iya, besok kalau kamu masih ngerasa nggak enak badan... slayernya bisa diiket di kepala aja. Biar kalo ada apa-apa medis bisa gampang ngenalinnya. Oke?"
Lagi-lagi aku mengangguk dengan senyum. Kakak-kakak medis nih emang malaikat penyelamat di saat ospek ya, nggak kayak kakak yang slayernya item itu tuh. Udah bentak-bentak, bikin pingsan, nggak tanggung jawab pula.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
Chick-LitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...