#20

9.5K 1.4K 68
                                    

—Fe

"Jadi, lo mau dateng apa nggak?"

Ceu Amel menatapku dengan alis terangkat di antara piring-piring kosong bekas sapo tahu dan nasi gila, juga teh manis dan air mineral. Ditengah ramainya Takor senja ini, aku baru saja menumpahkan semua kebingunganku terkait ajakan Kak Bram tempo hari untuk menonton band-nya tampil kepadanya.

"Nggak tahu..." jawabku sambil menggeleng enggan.

Ada beberapa alasan mengapa aku memutuskan untuk hanya menceritakan perihal ini kepada Ceu Amel. Pertama, karena situasi. Aku dan Ceu Amel yang sama-sama merupakan anggota FISIPERS, baru aja menyelesaikan rapat pleno kami sore tadi dan kini tengah mampir mengisi perut di Takor sebelum pulang. You know what they say, apalah arti makan bareng di kantin tanpa sedikit curhat disana-sini, ya 'kan?

Kedua, karena di antara teman-temanku yang lain, aku merasa paling dekat dengan dia. Amel ini meskipun sehari-harinya sering bertindak seolah ia adalah pemeran utama dari sebuah sitkom, tapi ia memiliki judgement yang jauh lebih jernih jika dibandingkan Bila, Enuy, bahkan Nadine sekalipun.

Buktinya, diantara mereka berempat, hanya Amel yang nggak secara agresif mendukungku untuk melanjutkan hubungan apapun yang tengah terjadi antara aku dan Kak Bram saat ini. Setiap kali aku menceritakan perihal usaha Kak Bram untuk mendekatiku, Amel lah yang menjadi that one person dengan tanggapan yang selalu berhasil membuatku memikirkan kembali semua sikap yang kuambil selama ini.

Contohnya, ya kayak yang sedang terjadi sekarang.

"Lo nggak tau, 'kan? Bukannya nggak mau?" tanyanya santai.

Aku mengaduk-aduk es batu di gelasku dengan sedotan, sambil mempertimbangkan pertanyaan Ceu Amel barusan. "Gimana ya ceu... maksud gue tuh... gue suka waktu gue jalan sama dia yang terakhir itu. It's fun. I had a great laugh and a great time. Tapi, ini tuh... beda"

"Apanya beda? Sama aja 'kan lo perginya sama dia juga?"

"Ya beda lah. Dari kegiatannya aja udah beda, kemarin nonton film, sekarang nonton acara musik. Kemarin ke bioskop, sekarang ke bar—atau itu kafe ya? Well, whatever that place is" aku berdecak pelan. "...Dan kemarin kita cuma berdua, sekarang... bakal ada temen-temennya..."

Amel menyesap minumannya sesaat sebelum menjawab ringan. "Jadi yang bikin lo nggak yakin itu cuma perihal temen-temennya doang? Katanya ada yang lo kenal, siapa tuh si anak Sosio... yang sekelas sama lo pas MPKT?"

"Wira? Ya... iya sih gue kenal sama dia..."

"Just stick with him through the night then," ujar Ceu Amel sambil mengendikkan bahunya. "That, if you really wanna come. Kalo nggak mau dateng ya gapapa juga,"

Aku menghela nafas. "Kan itu daritadi masalahnya. Gue mau dateng apa nggak..." gumamku kepada diri sendiri.

"Ya ngapa nanya ke gue, Romlah. 'Kan yang diajak elu bukan gue" sahut Amel yang rupanya mendengar gumamanku barusan.

Aku hanya meringis. Amel memutar kedua bola matanya.

"Gini aja deh, Fe. Coba lo assessment diri lo sendiri dulu, apa yang bikin lo se-enggan ini untuk dateng ke sana? Dan kalo udah ketemu, tanya juga sebaliknya; ada nggak hal yang bikin lo pengen untuk dateng ke sana?" ujarnya sabar. "Kayak kata Mas Budi pas PIKS* aja, kalo mau ngelakuin intervensi kita 'kan harus tau akar masalahnya dulu—dan kalo gue liat sih akar masalah dari kebingungan lo ini adalah perasaan lo sendiri. Bener nggak?" lanjutnya kemudian.

"Anjir PIKS banget nih analoginya?" kekehku pelan, meski tak ayal aku pun jadi memikirkan ucapannya barusan.

"Lho, serius, Fe. Apa gunanya kita belajar PIKS, Pepsi*, dan lain-lainnya selama 2 semester ini kalau nggak ada yang bisa dipraktikkan di dunia nyata?" Ceu Amel berujar dengan serius. "Jadi coba, apa yang bikin lo pengen dan nggak pengen dateng ke gigs-nya si Kak Bram ini?"

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang