—Fe
"That's it?"
Empat pasang mata menatapku dengan ekspresi kaget campur kecewa usai aku bercerita soal Kak Bram dan rangkaian pesan singkat yang saling kami kirimkan kepada satu sama lain belakangan ini. Enuy, Bila, Ceu Amel, dan Nadine masih diam di tempat seolah menunggu kali-kali bakal ada cerita tambahan kayak after credit scene di film-film Marvel.
I feel sorry for them, 'cause there really is nothing to add.
"Ya... that's it. Lo pada minta gue cerita 'kan? Tuh udah gue ceritain, dan ceritanya emang cuma segitu aja" aku mengangkat bahu acuh.
Enuy mengerutkan hidungnya, nggak terima atas pernyataanku barusan. "Elonya kali Fe yang membuat itu jadi cuman 'segitu aja'. Masa udah diajak nonton band-nya perform lo malah nolak"
"Ya gimana, Nuy" aku menghela nafas. "Kan tanggal 11 kita baru balik dari sini. Ya kali gue grasak-grusuk langsung nonton festival gitu"
"Ya tapi udah balik 'kan?" Nadine menyahut. "Lagian acara musik tuh jam berapa sih, paling sore menjelang malem. Kita balik dari sini jam berapa? Pagi 'kan?"
"Kan capek..." gumamku pelan. "Lagian, dianya juga fine-fine aja tuh pas gue bilang tanggal 11 gue inisiasi"
"Soalnya, Febrianne Imelda Rahmawati Yang Cantik Jelita, elo bilangnya tanggal 11 itu inisiasi. Bukan tanggal 11 itu HARI TERAKHIR inisiasi," Enuy menghela nafas panjang. "Hhhh gue bajak juga nih hape lo anjir gemes gue"
"Enak aja!" aku buru-buru menjauhkan ponsel di tanganku dari jangkauannya.
"But real talk, Fe. Seandainya itu acaranya nggak tanggal 11, lo bakal tetep nolak atau lo bakal nge-iyain ajakannya?" kali ini giliran Ceu Amel yang bertanya dengan serius.
Butuh beberapa saat bagiku untuk mempertimbangkan pertanyaannya barusan. Seandainya nggak tanggal 11... Apa aku bakal tetap menolak? Mungkin. Apa aku bakal iyain? Nggak tau.
Honestly, these past few days... it just felt so weird. Kak Bram dan berondongan chat-nya yang tiba-tiba sering meramaikan notifikasiku. Sikapnya di kampus setelah pertemuan kami di malam pentas teater. Ajakannya untuk menonton band-nya tampil.
Rasanya aneh aja. Rasanya kayak... salah. Ini bukan hal yang seharusnya terjadi. Aku nggak seharusnya bertemu Kak Bram, let alone merespon usahanya untuk mendekatiku. Aku selalu berpikir bahwa ini belum waktunya semua untuk terjadi. I'm not supposed to meet him, just yet. I'm not ready to meet him, just yet.
"Nggak tau," aku akhirnya menjawab diiringi dengan sebuah gelengan pelan.
"Duh, Fe..." Bila bersuara, nadanya tampak prihatin. "Ini Kak Bram, lho. Yudhistira Bramantyo. The Yudhistira Bramantyo. Lo nggak tau berapa banyak maba yang dying cuma buat dapetin kontaknya..."
"Lo termasuk 'kan, Bil?" ledek Enuy.
"Ya... iya. Siapa yang nggak mau? Tapi gue ikhlas kalo dia sama Fe mah. Cuma sama Fe doang ya. Kalo sama yang lain sih nggak" Bila menggeleng mantap.
"Sebenernya bukan masalah Kak Bram-nya sih kalo menurut gue..." Ceu Amel angkat bicara lagi. "Lo takut ya, Fe?"
"Takut apaan anjir emangnya dia kecoa," balasku mencoba bercanda.
"Lo takut terlibat dalam sebuah ikatan romantik karena lo pernah mengalami kegagalan sebelumnya?"
Seketika, aku pun terdiam. Aku? Takut terlibat dalam sebuah ikatan romantik—karena pernah mengalami kegagalan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...