#49

7.9K 1.3K 191
                                    

Harris

Ada sesuatu tentang cara Fe menatap gue saat ini yang membuat lidah gue kelu untuk berbohong.

Kami berdua, duduk berhadapan di sebuah kedai kopi yang dulu menjadi langganan kami untuk nongkrong semasa SMA. Pilihan tempat duduknya masih sama, sofa pojok di belakang kedai yang telindung dari hiruk pikuk pengunjung lain yang juga tengah menikmati waktunya di kedai kopi kecil ini.

"Lo abis berantem sama siapa, Ris?"

Ini alasan mengapa gue tengah berusaha sebisa mungkin untuk menjauh dari Fe sejak minggu lalu—tepatnya sejak gue menghajar bajingan yang berani-beraninya membuat dia menangis. Sejak kami tiba di kedai ini, Fe nggak merasa perlu berbasa-basi dengan melempar topik tentang kabar masing-masing, cuaca, atau apa kek acara yang lagi happening di kampus saat ini. Heck, dia bahkan nggak bertanya 'Ada apa?' atau 'Kenapa?' terkait lebam yang masih jelas terlihat di wajah gue. Sebaliknya, tanpa tedeng aling-aling, anak itu langsung menembak gue dengan satu pertanyaan singkat tersebut.

"Harris,"

"Sama Bram"

Fe menarik mundur tubuhnya untuk bersandar di sofa dan menghela nafas panjang. Kedua lengannya terlipat di depan dada, sementara matanya yang tajam masih menghujam tanpa ampun ke arah gue.

"I knew it," ia menggumam. "Gue udah nebak, pasti ini kerjaan lo"

"Fe gue bisa jelasin—"

"Oh yeah please do." Fe memotong kalimat gue cepat seraya menegakkan kembali duduknya. "Gue di sini emang buat dengerin penjelasaan—atau pembelaan lo, whatever—tentang kenapa lo tau-tau nonjok orang yang jelas-jelas nggak ada urusan apa pun sama hidup lo"

Kini, gantian gue yang menghela nafas panjang. "Fe, gue udah pernah bilang 'kan gue nggak akan ngebiarin siapa pun nyakitin lo. Udah jelas dia bikin lo nangis, gimana bisa gue cuma diem aja?"

"Still, it's not your business" bantah Fe dengan intonasi yang telah meninggi satu tingkat. "Apa yang terjadi antara gue sama dia, should just stay between me and him. Masalah kita bukan jadi urusan lo untuk diselesaikan, lo nggak punya hak untuk itu"

"How is it not my business?" gue menatapnya serius. "How is it not my business saat gue denger dia dengan entengnya ngomong tentang lo di depan temen-temennya seolah lo tuh cuma mainan buat dia. Seolah lo sama dia nggak pernah ada apa-apa. Seolah dia nggak pernah nyakitin lo dan bikin lo nangis. Tell me how is it not my business, Fe?"

Fe menggeleng pelan. "Hanya karena gue nangis gara-gara dia SEKALI di hadapan lo, nggak berarti lo otomatis punya hak buat ikut campur masalah gue sampe kayak gini"

Gue menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ini sifat buruk Fe. Dia nggak pernah sadar akan batas rasa sakitnya sendiri. Sekali itu udah lebih dari cukup alasan buat gue untuk nggak memaafkan Bram atas apa yang dia lakukan terhadap Fe. Bajingan itu nggak tau apa yang harus Fe lewati untuk bisa jadi dirinya yang sekarang. Bajingan itu nggak tau luka yang harus diderita Fe selama ini dan bagaimana sulitnya ia untuk membuka kembali dirinya pada dunia luar. Bajingan itu jelas nggak tau tentang masa lalu Fe dan hal-hal yang masih menghantui tidurnya hingga kini.

Bajingan itu nggak tau seberapa besar usaha gue untuk menyembuhkan luka Fe yang masih belum benar-benar kering, dan dia malah dengan mudahnya membuka—bahkan menambah luka yang baru lagi di atasnya.

"Fe, gue cuma nggak bisa biarin dia segampang itu ngomongin lo di depan temen-temennya seolah lo nggak berarti apa-apa" gue akhirnya menjawab, berat.

Fe mendesah frustasi. "Ris, jangan mentang-mentang lo dulu anak Karate terus buat masalah kayak gini aja harus lo selesaiin pake berantem tonjok-tonjokan. Lo kira dengan lo berantem sama Bram masalahnya bakal kelar, gitu? Lo nggak liat 'kan gimana babak belurnya muka dia abis lo pukulin kemaren? Mending dia masih bisa masuk kuliah lagi ya setelahnya. Gimana kalo dia sampe masuk RS? Terus lo dituntut? Lo jangan gila deh, Ris. I had enough of this shit"

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang