#47

7.2K 1.3K 225
                                    

Fe

Rintik Senja April. Pertama kali aku melihat namanya di Term of Reference buletin bulan ini, aku berpikir, cantik banget. Pasti orangnya anggun dan pendiam—tipe-tipe pecinta seni yang hobi nongkrong sendiri di pinggir jendela kamar saat hujan turun dan menulis puisi dengan pena. By the way, aku bisa bilang dia pecinta seni karena keterangan yang tertulis selanjutnya adalah "Ketua Departemen Seni Budaya BEM", dan lagi nama dia ada di kolom narasumber untuk artikel tentang Art War, jadi nggak heran kalau aku menganggapnya sebagai sosok artsy nan estetik indie kekinian.

Namun, ketika aku menemuinya langsung siang ini di Takor, aku nggak menyangka bahwa ternyata this Rintik Senja April is that Kak April. Itu lho, pacarnya Kak Jeff yang anak Komunikasi, inget 'kan? Yang aku ketemu di Backyard kapan tau itu. Inget? Oke.

Well, Kak April memang artsy, estetik, indie, dan kekinian sih... But she's definetely not the person who loves to sit quietly by the windowsill and write poetry by hand. Nope, I don't think she's that melancholic.

"Kak... April?"

"Eh, Fe! Duduk, duduk sini" Kak April tersenyum sumringah seraya mempersilakanku duduk di bangku kosong yang ada di hadapannya.

Aku mengangguk dan duduk di sana. Kuletakkan tote bag-ku di atas meja dan kukeluarkan ponsel beserta buku catatan kecil.

"Aku baru tau lho Rintik Senja April itu ternyata Kakak..." ujarku membuka percakapan.

Kak April hanya tertawa kecil. "Loh, aku kira kamu tau? Makanya pas SMS aku kayak, 'Oalah Fe yang mau wawancara' gitu"

"Nggak, Kak. Aku taunya nama Kakak cuma April doang," senyumku. "Tapi bagus banget namanya by the way, Kak"

"Hehe. Makasih. Pasti lo awalnya ngira lo bakal ketemu sama yang tipenya puitis-puitis kayak anak-anak Aksara Jingga gitu ya?" ujarnya jenaka menyebutkan salah satu komunitas pecinta sastra di fakultas kami.

Aku mengangguk mengiyakan sambil tertawa. "Iya lho, Kak. Yang macem-macem pecinta kopi... hujan... senja..."

"HAHAHAHA" Kak April malah terbahak menanggapinya. "Well, I'd rather go for bourbon than coffee but thanks, I'll take that as a compliment"

See? Ngerti 'kan kenapa aku bilang dia bukan tipe anak seni pecinta hujan yang sendu dan melankolis?

Aku tersenyum geli. "BTW kakak sekarang kadep senbud BEM?"

"Yep. Lo mau nanya-nanya tentang Art War 'kan ya? Aturan lo nanya sama Melda aja, dia ketua kontingennya lho" Kak April berujar sambil menyedot sedikit minuman di gelasnya.

"Aku udah ngobrol sama Melda kemaren, Kak. Sekarang emang giliran Kakak aja" aku berujar.

"Oalah, alrighty. Jadi... mau mulai dari mana kita?" ia melipat tangannya di atas meja dan memajukan duduknya.

"Hmm sebenernya kalo buat Kak April aku pengen ngegali soal bidang seni di FISIP sendiri sih, sama kaitannya ke lack of supportwait, bukan lack of suport, lebih kayak, kenapa sih belakangan ini skena kesenian di FISIP rasanya nggak se-meriah, say, tahun lalu gitu" aku berujar sembari menyalakan recorder di ponsel.

Kak April mengangguk-angguk paham. "Ooh ya, ya gue paham kok. Lo pasti ngerasa vibes senbud di FISIP lagi loyo banget ya belakangan ini?"

"Exactly, Kak. Aku kayak pengen tau aja sih ini tuh karena emang kebetulan SDM FISIP sekarang lagi minim yang katakanlah 'jagoan' seni, atau sebenernya ada, tapi wadah dan support berupa fasilitas atau whatsoever-nya itu yang lacking"

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang