#41

7.8K 1.3K 369
                                    

Fe

Aku benci terlambat.

Dari dulu, aku selalu dibiasakan oleh Ayah untuk datang lebih awal dalam acara apapun. Hari pertama masuk sekolah, karyawisata, Ujian Nasional, SBMPTN, perpisahan, prom, atau sekedar nongkrong dengan teman, aku selalu mengusahakan untuk datang lebih awal dari jam yang sudah ditentukan.

Well, sebenarnya yang terakhir agak menjadi pengecualian, sih. Kalian tahu sendiri lah gimana kultur orang Indonesia kalau janjian. Bilangnya di Line kumpul jam 1 tapi nyatanya jam 1 baru pada jalan dari kediaman masing-masing. Kalau sudah begini, jamku pun mau nggak mau menyesuaikan dengan jam mereka—meski seringkali, sudah menyesuaikan pun, tetap aja aku menjadi yang pertama datang.

Kalau kata Ayah, sih, lebih baik jadi yang menunggu daripada jadi yang ditunggu. Aku pribadi nggak setuju dengan ini. Menurutku, nggak ada yang lebih baik dari satu sama lain. Menunggu dan ditunggu sama-sama nggak enak, apalagi kalau sendirian.

Ya... kayak aku sekarang inilah kurang-lebih. Jam di layar ponselku telah menunjukkan angka 13:30, yang berarti aku sudah terlambat setengah jam dari waktu pemutaran film yang seharusnya aku tonton. Berkali-kali aku menoleh ke arah pintu masuk bioskop kecil ini, berharap seseorang yang membuatku harus menunggu (dan akhirnya terlambat) siang ini lekas datang, agar kami nggak ketinggalan adegan filmnya lebih banyak lagi.

Tapi, nihil. Belum ada juga sosok wajah familiar yang kutunggu-tunggu melangkah masuk ke dalam bangunan ini.

Aku menghela nafas panjang dan membuka aplikasi Line dengan agak gusar. Beberapa pesan singkat telah kukirimkan padanya sejak satu setengah jam yang lalu, saat aku berangkat dari rumah.

[LINE]

Fe.

Kak gue otw ya

Lo dmn? Gue udh sampe nih

Mau gue beliin dulu tiketnya apa gmn?

Kak?

Pesannya belum terbaca, yang terakhir terkirim menunjukkan angka 13:15 di bawah bubble-nya. Perasaanku mulai nggak enak.

I hate missing out on movies I really want to watch. Apalagi kondisinya sekarang, aku literally tinggal satu langkah lagi untuk menonton filmnya. Aku pun menggigit bibir pelan, ini orang ke mana sih? Janjinya bakal dateng, tapi ditungguin sampai jam segini belum muncul juga batang hidungnya.

Kulemparkan sekali lagi pandangan ke arah pintu masuk, berharap kali ini aku melihatnya menerobos datang; mungkin dengan agak terburu-buru, wajahnya sedikit panik, bulir keringat menghiasi dahinya karena hari ini panas dan mungkin ia harus berlari dari parkiran motor hingga ke sini.

Lagi-lagi nihil. Nggak ada siapapun yang mendorong pintu kaca ini terbuka dan melangkah masuk ke dalam untuk menghampiriku dan minta maaf karena sudah terlambat datang.

Kembali kuhela nafas panjang. Semoga aja dia tahu, aku benar-benar nggak suka terlambat. Especially, not today.

***

Bram

Brengsek. Gue benci hangover.

Berapa banyak gue minum semalam? Shit, kepala gue rasanya udah kayak abis dijadiin bola basket sama LeBron James. Pening menusuk dan berputar. Shit. Nggak lagi-lagi gue minum sebanyak itu.

"Bangun juga lo nyet akhirnya"

Gue membuka sebelah mata gue hanya untuk mendapati Keefan yang tengah duduk di kursi meja belajar dengan susu murni nasional di tangan kanannya dan ponsel di tangan kirinya. Bentar, bentar.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang