—Fe
"UNO!"
"AAAAAAH FAK"
"MAMPUUUUUY"
"HAHAHAHA TAI"
Riuh rendah sorak sorai terdengar dari sebuah meja di bawah tangga Takor malam ini. Kartu-kartu Uno, rokok, dan gelas-gelas berisi beragam minuman panas maupun dingin menghiasi meja kayu tua yang secara nggak resmi udah dinobatkan sebagai milik anak Kesos.
"Siapa jalan sekarang?" tanyaku sambil menutupi setengah wajah dengan sisa kartu uno di tangan.
Amel menggestur ke arah Arga dengan dagunya. "Arga jalan buru"
"Gue nih? Okeh!" Arga mengeluarkan satu kartu. Nggak spesial. Cuma 3 ijo.
Permainan kembali dilanjutkan dengan sisa 4 pemain. Aku, Arga, Amel, dan Nadine menjadi orang-orang kurang beruntung yang sampai di babak perempat final pertandingan Uno dadakan ini. Harusnya sekarang kami lagi di selasar sih menyelesaikan instalasi yang tinggal dikit lagi banget sambil mungkin ngomongin soal parade.
Tapi, biasa lah. Namanya juga anak muda. Satu cabut pengen makan, yang lain ikutan. Ujung-ujungnya semua makan dan nggak balik-balik ke Selasar, malah ngejogrok di Takor mainan Uno.
"Anjiiir mampus banget kartunya Fe" Rena yang kartunya udah abis duluan daritadi mengintip dari sebelahku.
"Rejeki anak soleh," aku tersenyum simpul. "Ceu, jalan"
Seperti biasa, malam ini Takor masih ramai. Meja-meja di beberapa sudutnya masih dihuni oleh orang-orang yang lagi ngobrol, nugas, main Uno kayak aku dan temen-temenku, atau sekedar kongkow sambil genjreng-genjreng gitar berisik.
Oh, kalau yang terakhir ini sih bagiannya meja di pojok luar tuh. Isinya senior semua, nggak ada yang aku kenal.
.
.
.
Oke, kecuali satu mungkin. Kalian tau lah siapa.
"Fe, jalan" Arga menggestur ke arahku untuk segera mengeluarkan kartu.
Aku melihat sisa kartu di tanganku yang tinggal 4 biji; 2 kartu +2, 1 kartu +4, dan 1 kartu pilih warna. Kalo aku dapet kartu ini dari awal mungkin aku udah ngalahin si Enuy kali. But well, namanya juga berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Aku jadi harus menghadapi serangan 4 kali kartu +2 dulu untuk mencapai posisiku sekarang.
"Gue? Yakin nih gue?" aku tersenyum sok penuh rahasia.
"Iye, lama lo ah." Ujar Amel.
Dengan santai aku pun mengeluarkan kedua kartu +2 milikku yang disambut dengan teriakan frustasi dari Amel dan sorakan meriah dari Arga.
"ANJIIIIIRRR!" Amel menggeleng-geleng dan menutup wajahnya dengan sisa kartunya yang masih banyak. "Mampus nih gue udah lah" keluhnya hopeless.
"Tenang, tenang semuanya tenang. Abis Fe gue 'kan?" Nadine tersenyum inosen, untuk kemudian mengeluarkan satu kartu +2 tambahan dari deck-nya.
"FAAAAK" Amel kembali berseru. "Ga, atuhlah lo jangan bunuh gue, Ga. Lo baik 'kan sama gue? Please, Ga. Pleaseeeee"
"Yah... Gimana ya, Mel..." Arga memasang wajah bersalah saat tangannya terulur untuk mengeluarkan satu kartu +2.
"FAKYUUUU"
"MANTAAAAP CEU KENYANG DAH ABIS INI HAHAHA" Mamad yang sedari tadi duduk di sisi Nadine tertawa-tawa heboh, diikuti oleh Rena dan juga Bila.
Amel hanya cemberut sembari mengambil kartu dari deck sesuai dengan jumlah kumulatif hasil seranganku, Arga, dan Nadine. Setelah selesai, ia kemudian mengeluarkan satu kartu berwarna kuning, sesuai dengan warna kartu +2 terakhir yang dikeluarkan oleh Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...