—Fe
Everything will be okay in the end, if it's not okay, then it's not the end.
Kalau tidak salah ingat, kutipan tersebut datang dari mendiang vokalis The Beatles, the legendary John Lennon himself. Aku lupa kapan tepatnya aku pertama kali mendengarnya, namun saat ini kutipan tersebut terputar berulang kali di ruang-ruang kepalaku menciptakan gema.
Everything will be okay in the end, if it's not okay then it's not the end. Ada yang ingin aku kritisi dari kalimat tersebut. Menurutku, definisi 'okay' dan 'the end' di sini cukup rancu. Satu-satunya ending yang absolut di dunia ini adalah kematian, tapi apakah kematian membuat semuanya jadi baik-baik saja?
Aku memiliki pengalaman dengan kematian, tepatnya dengan kematian seseorang yang pernah menjadi poros hidupku. And tell you what, his end is definitely not my okay. Mungkin kita harus menafasirkan "segalanya akan menjadi baik-baik saja pada akhirnya" secara lebih subjektif mulai sekarang.
Evan's life ended, and he might be finally okay up there now. Ia tidak lagi harus berurusan dengan musuh-musuhnya di dunia, dengan ayah yang ia benci seumur hidupnya, dengan trauma masa lalunya, dengan segala permasalahan yang melingkupi dirinya semasa ia hidup. Even better, Evan mungkin sekarang bisa bertemu lagi dengan ibunya yang sudah lebih dulu berada di Atas sana.
On the other hand, the end of his life was definitely not okay for me. Aku yang ditinggalkan harus berjuang babak belur sendirian melewati hari-hari tanpanya. Aku harus berjuang melawan setiap kenangan tentangnya yang terkadang muncul tanpa diminta. Aku juga harus berjuang untuk mengembalikan diriku yang lama kepadaku setelah kepergiannya.
And it was a grueling fight. Pertarungan mendapatkan kembali diriku adalah pertarungan terberat yang pernah kuhadapi sejauh aku hidup. Aku menangis, aku terluka, aku jatuh—berulang kali, tanpa henti, selama nyaris dua tahun lamanya. Dan kini, ketika aku berhasil memenangkan pertarungan tersebut, diriku yang lama memang kembali, namun tidak dalam kondisi yang sama seperti sebelumnya.
My old self came back with one hell of a battle scar, but this time, I will proudly wear it. Bekas luka yang kuderita adalah pengingat akan perjuanganku sekaligus perisai yang akan kugunakan untuk menentukan boundaries-ku di masa depan. Yang lebih penting lagi, setelah semua pertarungan tersebut usai, aku akhirnya bisa berdamai dengan diriku sendiri.
And when you already made peace with yourself, loving someone else has never been easier.
"Hey,"
Kak Bram menghampiriku sesaat setelah ia berhasil menaklukan panggung Art War malam ini. Dahinya dihiasi bulir-bulir keringat, dan rambutnya tampak acak-acakan sebagai akibat dari aksinya tadi. Meski begitu, bibirnya terlengkung membentuk sebuah senyuman lebar dan matanya, mata bulan sabit itu, berbinar kala ia menatapku.
"Lo keren tadi," aku memujinya ringan.
"Makasih," ujarnya dengan tawa sebelum menenggak air mineral yang dibawanya. "Makasih juga... udah mau nonton"
Aku tersenyum kecil dan mengangguk. "My pleasure"
Kami berdiri berdampingan dalam diam untuk beberapa saat. Aku sedikit nggak percaya aku dan dia akhirnya bisa sampai di titik ini. Kalimat yang kukatakan padanya beberapa saat yang lalu masih menyisakan bekas di ujung tenggorokanku.
"...Mau ngomong apa?" ia bertanya.
Aku menelan ludah saat akhirnya mataku kembali bertemu dengan dua manik hitamnya sore ini di koridor FISIP. Setelah tadi harus menahan malu karena tiba-tiba masuk ke Ruang BEM tanpa permisi hanya untuk mencarinya, Semesta malah mempertemukanku di sini dengannya tanpa sengaja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
Chick-LitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...