#51

7.3K 1.4K 257
                                    

—Bram

Harris nggak bohong waktu dia bilang Fe lagi ada di makamnya Evan.

Di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, sore ini gue akhirnya bertatap muka lagi dengannya. Fe berdiri di sana, di bawah sebuah pohon beringin yang menaungi makam dengan nisan marmer hitam yang terpancang di ujungnya.

"Lo ngapain di sini?" tanya Fe tanpa ada sedikit pun keramahan di dalam suaranya.

Lidah gue kelu, dan kerongkongan gue kering. Ada sesuatu dalam caranya menatap gue saat ini yang membuat gue kehilangan kemampuan menyusun kata. Kedua manik tajamnya menusuk ke arah gue seolah gue adalah orang asing yang ketahuan masuk ke rumahnya tanpa izin.

"Gue..." gue menelan ludah. "Gue mau minta maaf sama lo soal yang kemaren-kemaren..."

Rasanya pahit saat kalimat itu keluar dari mulut gue. Tapi lebih pahit lagi saat gue menangkap sorot Fe yang tampak seperti campuran antara rasa marah, benci, dan kecewa. Gue nggak pernah merasa seperih ini saat ditatap oleh seseorang.

"Lo nggak seharusnya ada di sini" gelengnya singkat.

"Gue tau, Fe" jawab gue. "Dan gue minta maaf. Gue sama sekali nggak bermaksud ngeganggu privasi lo—"

"Then why are you here?" Fe memotong kalimat gue tajam, sama sekali nggak memberikan gue kesempatan untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud kedatangan gue.

Seluruh gestur tubuhnya saat ini menyatakan bahwa ia merasa terganggu dengan kehadiran gue di sini—di tempat yang bisa dibilang merupakan ranah paling personalnya. Dan gue sepenuhnya sadar. Gue sadar gue telah melangkah masuk ke sebuah area dalam hidup Fe yang jelas-jelas masih terpasang papan 'NO TRESPASSING' lengkap dengan kawat berdurinya. Gue sadar tempat ini bagaikan lahan ranjau bagi gue, dan besar kemungkinannya gue akan pulang dengan luka yang lebih parah daripada yang diberikan Harris di wajah gue tempo hari.

Tapi gue ke sini bukan untuk jadi pengecut. Gue ke sini untuk meminta maaf dan meluruskan ujung-ujung benang kusut yang memenuhi isi kepala gue selama beberapa minggu terakhir. Pulang dengan kondisi terluka adalah konsekuensi yang telah siap gue hadapi sejak pertama kali gue menginjakkan kaki di tempat ini.

"Gue tadi ketemu Harris," ujar gue akhirnya, berusaha setenang mungkin meski hati gue telah ribut bergemuruh. "Gue ketemu Harris dan gue... dia udah cerita semuanya ke gue. Tentang kalian, tentang lo, tentang... mantan lo"

Saat gue menyebutkan tentang mantannya, sorot mata Fe berubah. Tidak lagi setajam sebelumnya, tapi nggak bisa dibilang bersahabat juga. Sorot itu mengingatkan gue pada hari di mana gue menemukannya di Stasiun Duren Kalibata setelah gue mematahkan tangan seorang penjahat kelamin yang berusaha melecehkannya di KRL.

Gue di sini berusaha sekuat tenaga melawan keinginan untuk menariknya ke dalam pelukan gue, dan merengkuh sepasang bahu yang kini tampak sangat ringkih itu seerat yang gue bisa.

"This isn't right" gue bisa mendengar Fe menggumam pelan sambil menggelengkan kepalanya. "This... this isn't right. Kak, lo nggak seharusnya ada di sini" ujarnya dengan jemari yang telah terkepal di sisi tubuhnya.

Gue menghela nafas panjang. "Fe, gue tau... gue tau gue udah bikin kesalahan dan nyakitin lo... gue di sini mau jelasin semua—"

"Nggak." Lagi-lagi, Fe memotong gue dengan tajam. "Lo nggak seharusnya ada di sini."

Selanjutnya ia berbalik dan melangkah pergi. Fe pergi meninggalkan gue sendiri dengan langkah tergesa dan kata maaf dari gue yang tidak ia terima. Gue hanya memiliki sedikit waktu untuk berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk bergerak mengejarnya.

I can't let her go just like that. Not yet.

"Fe! Fe, please dengerin gue dulu," panggil gue sembari melangkah mengikutinya.

Fe nggak menggubris, sebagai gantinya, ia malah mempercepat langkahnya.

"Fe! Please—" gue mengulurkan tangan untuk menahannya pergi, tapi Fe langsung menarik lengannya dari cengkraman gue seolah gue ini jambret yang tengah berusaha mengambil harta benda miliknya.

"Fe, please. Sebentar aja, dengerin gue dulu. Gue mau jelasin sesuatu ke lo" ujar gue, masih belum menyerah. "Harris udah cerita semuanya ke gue dan gue ngerti, Fe. Gue ngerti sekarang kenapa lo marah sama gue setelah gue ngebiarin lo sendirian di Kineforum waktu itu. Gue ngerti kenapa lo nggak mau ketemu gue lagi setelahnya. Gue ngerti kenapa lo—"

"Lo mau ngapain sebenarnya di sini, Kak?"

Gue menghentikan langkah secara serta merta saat Fe berbalik cepat dan menukas tajam. Dadanya naik turun seperti tengah berusaha mengatur nafas yang memburu sementara matanya menusuk tepat ke arah gue.

"Gue... mau minta maaf... Shit, gue bahkan nggak yakin sekarang gue masih pantes untuk dapetin maaf lo atau nggak, tapi gue di sini bener-bener mau minta maaf" ujar gue. "Gue mau minta maaf karena nggak nepatin janji gue waktu itu, gue mau minta maaf karena udah ngejauh dari lo tanpa alasan, gue mau minta maaf karena gue udah nyakitin lo, gue mau minta maaf... karena nggak berusaha untuk ngerti lo lebih jauh..."

Gue menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. "Gue tau semuanya Fe... Gue tau semuanya sekarang; tentang lo, tentang Evan, tentang masa lalu kalian berdua. Gue tau semuanya, dan gue... gue minta maaf..."

Gemerisik angin yang beradu dengan dedaunan, serta sayup suara mesin kendaraan di kejauhan mengisi detik-detik tanpa kata setelah gue menyelesaikan kalimat gue barusan. Fe diam, membiarkan percakapan ini menggantung di satu sisi tanpa ada kelanjutan. Gue terpaku, menatapnya dengan perasaan yang masih nggak karuan.

"No you don't," ketika Fe akhirnya berujar, gue bisa mendengar suaranya mulai goyah. "Lo nggak tau apa-apa tentang gue dan masa lalu gue, dan lo nggak akan pernah ngerti. Lo nggak akan pernah ngerti sakitnya ditinggal orang yang berarti buat lo tanpa pernah bisa ngucapin kata perpisahan. There's no goodbye, no sign, no closure. Lo nggak pernah tau rasanya saat orang yang bener-bener lo sayang direnggut gitu aja dari lo tanpa aba-aba sebelumnya."

Dari jarak pandang gue sekarang, gue bisa melihat mata Fe mulai berkaca-kaca. Tenggorokan gue tercekat. Liat apa yang lo lakuin, Bram. Lo bikin dia nangis lagi. Lo nyakitin dia lagi. Goblok emang.

"Lo nggak ngerti semua itu, Kak, dan lo nggak akan pernah tau rasanya, So please," Ia mengangkat wajahnya dan menatap gue lurus-lurus untuk yang terakhir kalinya. "...Stop acting like you know my pain. You don't"

Dan dengan begitu saja, Fe pun kembali pergi. Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya meninggalkan gue yang hanya bisa terpaku di sini tanpa mampu berkata-kata lagi. Ranjaunya telah meledak, dan isi kepala serta hati gue yang porak poranda nyaris seketika adalah korbannya.

Di tengah-tengah kekacauan seperti itu, otak gue udah nggak bisa diajak berpikir jernih. Berbagai hal berkelebatan di dalamnya, namun cuma ada satu yang bisa gue pikirkan untuk menahan Fe tetap di sini meski hanya untuk beberapa detik lagi.

"Fe, gue sayang sama lo."

Dan gue pun mengatakannya. Lantang. Lugas. Tanpa keraguan.

Karena itu yang seharusnya sejak dulu gue lakukan; menyingkirkan prasangka, menekan keraguan, dan jujur mengakui bahwa gue menyayanginya.

***

A/N:

Nih buat yg suka nanya bram waktu nembak fe gimana, nih. Gini. Bram nembak fe pertama kali di kuburan.

Iya, pertama kali. Soalnya nanti bakal... wkwkwkwkwkwkewkwkewkwk.

See you on the next few chapters! The ending is near.

With love,
F.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang