#43

7.3K 1.3K 213
                                    

Bram

Dunia nggak berputar buat kita doang. Kalau ada satu petuah dari mendiang kakek gue yang gue inget, maka petuah tersebut adalah itu. Dunia nggak berputar buat kita doang, nggak peduli kita udah jatuh berdarah-darah dan babak belur, sejam akan tetap 60 menit, sehari akan tetap 24 jam, dan seminggu akan tetap 7 hari. Dunia nggak akan berhenti berputar hanya karena kita mengalami sesuatu yang membuat kita berharap seperti itu.

Gue nggak dekat dengan almarhum Kakek gue, tapi entah kenapa, petuahnya yang itu muncul lagi di kepala gue sekarang.

Malam di mana gue putus dengan Aurum, gue kira dunia gue berhenti berputar. Malam itu rasanya panjang banget, nggak peduli udah berapa ratus kilometer jalanan yang telah gue susuri dari Fatmawati hingga tol Jagorawi. Gue pun nggak tahu bagaimana gue bisa berakhir di daerah Puncak dan turun dengan sebotol Amer yang gue beli di sebuah warung jamu hanya untuk menghabiskannya bersama Tere di kamar kostnya.

"Yaelah lu. Tampang doang fakboi, hati tetep sadboi" begitu ledek Tere saat gue meneleponnya untuk mengabarkan kedatangan gue di kediamannya.

Emang tai itu anak. Untung dia masih mau menerima gue. Dan untung juga pas gue datang dia lagi sendiri di kamar, bukan sama Janit atau perempuan manapun yang lagi dia tiduri saat itu.

Ngomongin Tere, jujur, kadang gue merasa ingin seperti dia. Gampang banget ganti-ganti cewek udah kayak ganti kaos kaki. Minggu ini sama si A, besok sama si C, minggu depannya lagi tau-tau sama si D. Sama Janit pun, hubungan mereka nggak lebih dari sekedar friends with benefit—walaupun feeling gue mengatakan hanya Tere yang menganggap begini, sementara Janit mungkin menganggap lebih.

"Lo gue ajakin nongkrong nggak pernah mau sih. Coba dari dulu-dulu lo ngikut gue, udah gue kenalin sama si..." Tere menyebutkan beberapa nama perempuan yang dikenalnya, mulai dari anak fakultas sebelah sampai kampus sebelah. Emang sindikat sih nih orang.

"Cuy gini ya, kalo Aurum aja bisa ngewe—"

"Bangsat mulut lo"

"Ya, ya nggak ngewe. Selingkuh. Nih, kalo Aurum bisa selingkuh sama Saddam, kenapa lo nggak? Apalagi kalo lo ngelakuinnya sekarang, itungannya udah bukan selingkuh lagi 'kan? It's legal, man"

Nggak usah dimasukin hati, Tere emang ambyar. Waktu itu, gue pun menganggapnya hanya sebagai jenis-jenis racauan yang keluar setelah lo terlalu banyak menenggak alkohol ke dalam sistem lo. After all, what do you expect from Kriminologi's very own man-whore aka Ananda Tere Subagja?

Sulit mengakuinya, tapi setelah malam itu, gue masih butuh waktu lama untuk bisa berdamai dengan Aurum. Bohong kalau gue bilang hati gue nggak sakit rasanya tiap lihat dia jalan berdua dengan Saddam di kampus. Seberapa pun Aurum membuat gue marah, tapi ya dia pernah jadi orang yang bikin gue jatuh sedalam-dalamnya. Dia tetap pernah menghuni sebuah sudut di hati gue untuk waktu yang nggak bisa dibilang sebentar juga. Gue pernah menyayanginya, dan gue rasa itu bukan sesuatu yang bisa dengan gampangnya lo lupain gitu aja.

Tapi dunia nggak cuma berputar buat lo doang. Sakit hati gue akibat Aurum nggak serta-merta membuat gue jadi pria paling menyedihkan di muka bumi dan satu-satunya yang layak untuk mendapat perhatian. Sakit hati gue nggak mengubah fakta bahwa Aurum sudah nyaman berada di pelukan lelaki lain dan gue yang ditinggalkan sendiri harus puas memeluk sisa-sisa memori gue dengannya. Jadi gue melepaskan. Gue melepaskan memori yang masih gue pegang, dan membiarkan hati gue sembuh seiring waktu berjalan.

Dan itulah yang berusaha gue lakukan dengan Fe. Tapi, gue melakukannya dengan improvisasi.

Selain menyadari bahwa dunia nggak akan berhenti berputar hanya karena gebetan lo tau-tau jadian sama orang lain, gue juga menerapkan apa yang pernah Tere sampaikan dulu untuk menghadapi kasus ini. Dari awal, sebenarnya Fe bukanlah siapa-siapa gue dan begitu juga gue terhadapnya, jadi kalau dia bisa tau-tau muncul menggandeng laki-laki lain, kenapa gue nggak?

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang