#55

9.6K 1.3K 234
                                    

—Fe

Berdamai dengan diri sendiri.

Konsep yang satu ini mungkin udah sering banget kalian dengar. Saking seringnya, konsep ini mungkin sudah kehilangan maknanya bagi beberapa orang.

Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Kak Bram di Menteng Pulo, dan sudah dua minggu pula sejak percakapanku dengan Harris membuatku mengkaji ulang konsep berdamai dengan diri sendiri.

Apa yang mereka maksud dengan berdamai dengan diri sendiri? Apakah itu memaafkan? Mengikhlaskan? Mengakui kesalahan dan melepaskan?

Dua tahun terakhir, aku merasa hidupku adalah sebuah medan perang tanpa ujung antara diriku sendiri dan rasa sakitku kehilangan Evan. Setiap hari adalah perjuangan, untuk bangun dari tempat tidur, mandi, pergi menunaikan kewajiban akademik di kampus—semuanya kulakukan dengan fakta yang menggaung konstan di kepala bahwa orang yang pernah menjadi segalanya bagiku kini telah tiada.

I used to think that you can never really run from the past. Masa lalu kita akan selalu menemukan upaya untuk meninggalkan barang satu-dua hal yang seolah meminta kita untuk nggak berhenti mengingatnya. I used to think Evan did this from wherever he is right now. Akan selalu ada hal-hal yang membuatku mengingatnya nggak peduli seberapa keras usahaku untuk mengubur kenangan dengannya dalam-dalam.

Aku selalu mengira ini merupakan cara Semesta untuk memberitahuku bahwa belum saatnya aku melepas Evan pergi. Aku masih harus mendekap erat serpihan memori kami entah untuk alasan apa selain kenyamanan. Remember what I said about missing him being my comfort zone? Yeah, making peace with myself is stepping out of that comfort zone.

Kalian pasti sudah sering mendengar kisah mengenai sulitnya keluar dari zona nyaman. Told you what, it is hella hard. Hanya untuk bergerak selangkah menjauh aja butuh waktu dan perjuangan yang nggak sebentar. Aku selalu penasaran bagaimana orang-orang melakukannya, meninggalkan masa lalu diam di tempatnya tanpa ada sedikit pun keinginan untuk mengunjunginya sesekali.

Namun seiring waktu berjalan, aku menyadari sesuatu. Kata kuncinya adalah keinginan. Seperti yang sudah Harris katakan dua minggu yang lalu, konflik yang terus mendera diriku dalam dua tahun terakhir ini bukan perkara aku bisa atau nggak, tapi aku mau atau nggak untuk menghentikannya.

And until the last two weeks, I don't think I am willing to step out of this.

Adalah hasil kontemplasiku selama kurang lebih 14 hari terakhir yang membuatku tersadar akan pentingnya memiliki keinginan dari dalam diri kita sendiri sebelum berusaha untuk lepas dari belenggu kelam masa lalu. Kalau menurut mata kuliah Metode Intervensi Ssosial, sebelum merencanakan sebuah program pemberdayan komunitas, dalam proses assessment-nya kita harus bisa membuat komunitas tersebut sadar akan tiga hal: masalah, kebutuhan, dan sumber daya. Saat sebuah komunitas telah berhasil mengidentifikasi ketiga hal tersebut, akan lebih mudah bagi seorang community development officer untuk memberdayakan mereka, karena dengan sendirinya mereka akan memiliki keinginan untuk mengubah apa yang salah dari komunitasnya.

In the end, it is always up to ourselves whether we want to fix the problem within us or not.

Dan hal tersebut sedang berusaha aku terapkan pada diriku sendiri.

"...terus-terusan denial nggak akan ngebantu apa-apa buat nyembuhin luka lo—if anything, it would only make things worse"

Harris benar. Terus menerus denial akan perasaanku sendiri nggak membantu apapun dalam proses penyembuhannya. The wounds will only rot if it's not being treated properly. Selama ini aku kira aku bisa menangani lukaku dengan menghindarinya, tapi ternyata itu memang hanya memperburuk keadannya.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang