#52

7.4K 1.3K 108
                                    

Fe

"Bunga kesukaan lo bunga matahari 'kan?"

Malam itu adalah malam Minggu dan malam di mana aku pertama kali menghadiri helatan pentas seni sekolah kami. Seharusnya guest star utama sudah naik panggung sekarang, tapi entah ada miskomunikasi apa di balik layar sana, hingga kini band papan atas yang nama dan fotonya dipasang dengan ukuran paling besar di spanduk dan poster acara belum juga tampil.

Sebagai gantinya, sound system memutarkan playback lagu-lagu yang tampaknya dipilih secara acak dari playlist Prambors Top 40s.

Aku dan Evan berdiri agak belakang—jauh dari panggung—karena kami berdua nggak ada yang segitu tertariknya untuk menonton band tersebut. Alasan kami berdua datang ke pentas seni ini juga semata-mata karena ingin men-support acara sekolah sendiri aja.

Dan lagi, it's Saturday night. There's nothing better than a little bit of music and dancing on Saturday night.

"Mm-hm. Kenapa?" aku menoleh ke arahnya dengan alis terangkat, sedikit penasaran ada apa dia tau-tau menanyakan hal tersebut padaku.

"Gue punya sesuatu yang lo pasti suka," jawabnya. "Tapi nggak di sini"

"Sesuatu... apa?"

Evan hanya mengulum senyum lalu menoleh ke arah panggung yang masih kosong sekilas. "Lo masih mau nungguin Nino and The Apeman ini nggak?"

Aku tertawa saat Evan salah menyebutkan nama band yang belum juga tampil tersebut. "Nino and The Cavemans, Van."

"Ya ya apalah itu gue nggak ngerti" Evan mengibaskan tangannya dengan acuh. "Lo masih mau nungguin mereka nggak?"

"Mmm... nggak sih," aku menggeleng.

"Kalo gitu, ikut gue aja yuk" ujar Evan kemudian menggamit tanganku dan menarikku keluar dari kerumunan.

"Wait, I didn't exactly say yes" aku bergurau seraya mengikutinya melangkah menjauhi lapangan utama tempat panggung musik dilaksanakan.

Evan hanya menoleh ke belakang dan tersenyum simpul. "You didn't say no either"

Aku tertawa. "Fair enough"

Kami melangkah bergandengan memasuki gedung sekolah yang sepi. Gelak tawa sekali-sekali mengiringi setiap langkah yang diambil menyusuri lorongnya yang diterangi cahaya lampu redup. Beberapa ruang kelas yang kami lewati tampak terang karena digunakan sebagai ruang panitia, penyimpanan peralatan, sampai ruang tunggu guest star, sementara yang lain tampak gelap gulita. Evan membawaku melangkah terus menuju sebuah lorong tersembunyi di dekat toilet perempuan lantai satu yang ujungnya mengarah ke,

"Taman belakang?" aku bertanya padanya kala kami memasuki area taman belakang sekolah yang minim pencahayaan. Hanya ada satu lampu kecil yang menyala dan menerangi tangga darurat yang terletak di sana.

Evan berdiri di hadapanku dan tersenyum penuh rahasia. "Nah, sekarang lo tutup mata dulu"

"Kok perasaan gue nggak enak..." aku meliriknya curiga sambil bergurau.

"Nggak, nggak. Nggak bakal ada apa-apa. Suer" ia meyakinkanku dengan tenang. "Tutup mata dulu, nanti nggak jadi surprise"

"You know I don't like surprises, right?"

"This time, you will." Evan berujar sambil meremas tanganku ringan. "Sekarang lo tutup mata lo, dan jangan lepasin pegangan tangan gue. Oke? Trust me you'll love this"

Dan aku pun mempercayainya. Aku menutup mataku dan melangkah pelan-pelan dituntun oleh Evan yang nggak melepaskan genggamannya pada tanganku. Meski aku sama sekali nggak tau apa yang telah disiapkan Evan dan ke mana ia akan membawaku dari sini, tapi entah mengapa ia membuatku merasa aman. Aku nggak pernah merasa se-aman ini bersama orang lain.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang