#7

14.4K 1.7K 130
                                    

—Fe

Okay, first of all aku mau menuntut siapapun itu yang pertama kali mengkonstruksikan konsep kuliah adalah masa-masa yang menyenangkan ke otak para remaja.

Karena itu salah. Seratus persen salah.

Well, seminggu dua minggu pertama emang semuanya masih terlihat menyenangkan. Kalian punya banyak jam kosong, nggak perlu pakai seragam, nggak musti bawa-bawa buku pelajaran yang beratnya bisa bikin osteoporosis, nggak harus dateng pagi tiap hari... bahkan kalau mau bolos sekalian pun, nggak bakal ada yang namanya dipanggil ke ruang BK keesokan harinya. Asik kan?

Tapi semua itu nggak akan bertahan lama.

Minggu ketiga, keempat, lima, enam, tujuh... all hell break loose. Hari-hari kalian akan diisi dengan tumpukan diktat dan materi kuliah yang harus dibaca dan dibuat makalah serta presentasinya. Belom lagi kalo tugasnya kelompok, nambah satu lagi deh beban hidup yaitu ngumpulin orang-orang sekelompok buat bagi-bagi tugas. Mending kalo anak-anaknya semua rajin, ini kadang kalian bakal ditakdirkan untuk sekelompok dengan orang yang kalo namanya muncul di group aja udah Alhamdulillah.

Bye leha-leha di jam kosong, halo begadang ngelarin makalah puluhan halaman yang harus dikumpulin besok.

Nah, itu baru soal akademis, belum perkara hal-hal non-akademis—misal, ospek jurusan yang berlangsung hingga satu semester. Namanya juga ospek, mau di-sugarcoat kayak apa juga intinya itu adalah kegiatan dimana mahasiswa baru disuruh-suruh oleh senior. Disuruh dateng seminar, disuruh hadir pelatihan, disuruh bikin kumpul angkatan, disuruh nukang buat pentas teater maba...

Yep.

Senior-senior fakultasku ini memang berisi manusia-manusia kreatif. Seolah diribetin dengan tugas-tugas dosen aja nggak cukup, mereka memberikan kami—para maba yang kelelahan ini—satu tugas lagi, yaitu mempersiapkan sebuah pertunjukan teater yang akan dipentaskan di akhir semester.

Dan seakan semua itu aja belom cukup gila, mereka juga menjadikan pertunjukan teater tersebut sebagai kompetisi antar jurusan. So basically... it's a war.

"WOI KUAS MANA WOI GUE GAK BISA NGECET PALA NAGA NEH"

Ah suara-suara itu.

"Coba tolong Ibu nengok dikit ke bawah... kanan... nah yak itu apa namanya?" aku menghampiri Rena, cewek yang tadi teriak-teriak nyari kuas, sambil mengarahkannya untuk melihat ke bawah, karena benda yang sedari tadi dia cari tergeletak dengan manis di dekat kakinya.

"Hah anjir tadi nggak ada suer... Hehehe. Maaci, Fe" Rena memungut kuas tersebut sambil cengengesan jelek.

"Makanya kalo nyari pake mata yah Ibu Enuy, bukan pake mulut" aku terkekeh geli sambil meletakkkan tas di sudut selasar yang penuh barang pertukangan ini.

Oke, konteks. Konteks itu penting.

Sekarang adalah hari Jumat, dan jam di pergelangan tanganku baru aja menunjukkan angka 06:30. Sore. Matahari udah terbenam dan hari mulai malam—nggak, nggak ada terdengar suara burung hantu, adanya suara grasak-grusuk orang-orang yang lagi ngecat, gunting-gunting dan menggergaji triplek di sekitar tempat tongkrongan ini.

Keriuhan ini terjadi di salahsatu sudut FISIP yang diklaim sebagai pusat nongkrong anak-anak jurusanku. Kami menamainya Selasar, karena tempatnya emang berupa teras panjang yang biasa dipakai duduk-duduk cantik sambil ngobrol di jam-jam kosong matkul. Bedanya, malam ini Selasar nggak dijadikan sebagai tempat duduk cantik melainkan workshop seni yang dipenuhi material-material untuk bahan instalasi sepanjang mata memandang.

Oh, mungkin aku harus mengingatkan kalian bahwa ini udah memasuki minggu ke-9 berkuliah dan midterm week baru aja selesai minggu kemarin. Ini artinya, kami para maba harus segera gear-up untuk menyiapkan segala tetek bengek kompetisi pentas teater yang akan dilaksanakan kurang lebih 2 bulan lagi.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang