—Fe
"Hah gimana, gimana? Sori gue nggak paham, jadi dia mau nganterin lo pulang terus...?"
Aku menghela nafas panjang dan berhenti menyedot Coke Float di gelasku sebelum menjawab pertanyaan Harris.
"Dia bilang dia mau tau soal gue dengan cara nganterin gue pulang, tapi dia cuma bawa helm satu" lanjutku sambil memutar kedua bola mata. "Kan geblek ya?"
"Bentar,"
Harris meletakkan cheese burger-nya yang tinggal setengah kembali ke atas nampan, kemudian tertawa keras-keras. Saking kerasnya, beberapa pengunjung yang kebetulan tengah duduk di dekat kami sampai menengok dan melemparinya tatapan sinis yang serupa.
"HAHAHAHAHAHAHAHAHAH shit maaf-maaf, Fe" ujar Harris setelah ia berhasil meredakan tawanya. "Ngakak anjir, gue jadi dia sih malu. Terus jadinya gimana?"
"Nah ini, Ris. Ini yang mau gue ceritain ke lo"
Untuk sesaat ekspresi Harris berubah. Binar di matanya meredup digantikan sorot aneh yang nggak bisa aku jelaskan apa artinya, senyumnya pun menyurut meski nggak benar-benar hilang sepenuhnya.
"Kenapa?"
Sambil mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan, aku pun bercerita. "Kan gue udah bilang nih ke dia, nggak mungkin nganterin gue pulang kalo dia cuma bawa helm satu. Gue kira dia bakal yaudah gitu nggak jadi aja, eh tapi tau nggak dia malah bilang apa? Dia bilang: 'Yaudah, gue anterin lo sampe stasiun' gitu..."
Harris mengangkat alisnya. "Terus lo mau?"
"Yaa..." aku membiarkan kalimat tersebut menggantung di udara, sementara benakku kembali memikirkan kejadian di hari Selasa itu.
"Gue mau tau soal lo."
Masih terasa betapa jantungku melewatkan satu ketuk detakannya saat Kak Bram menyatakan hal tersebut terang-terangan di depan wajahku. Dia ini apa-apaan sih? Straightforward sih straightforward, tapi nggak gini juga.
"Lo mau nganterin gue pulang karena lo mau tau soal... gue?" tanyaku berusaha memastikan.
Kak Bram mengangguk mantap.
"Emang lo bawa helm berapa?"
Setelah mendengar pertanyaan tersebut, ia tampak bingung. "Hah? Ngapain lo nanyain helm—oh..."
Aku mengangkat sebelah alis, menunggu jawabannya.
"...Satu..."
I knew it.
"...Yaudah gue anterin lo sampe stasiun kalo gitu" lanjutnya.
Seketika dahiku pun mengerenyit. Kok dia kekeuh sih? Orang dari FISIP ke stasiun cuma tinggal jalan juga bisa. Ngapain sok ide pengen nganterin segala?
"Kak, sori nih, gue masih bisa kok jalan sendi—"
Tepat saat itu, setetes air dari langit jatuh menyentuh hidungku.
Kemudian, seperti sepasang boneka kayu yang digerakkan dari atas oleh puppet master-nya, aku dan Kak Bram mendongak bersamaan, menatap langit Depok yang telah menggelap pekat sore itu. Gerimis.
Ia mengangkat tangannya selama beberapa detik untuk memastikan bahwa air yang jatuh dari langit itu benar merupakan rintik hujan dan bukan residu AC dari gedung di dekat tempat kami berdiri, kemudian mengalihkan tatapannya kepadaku.
"Bawa payung?" tanyanya.
Aku pun menggeleng pelan. "Nggak..."
"Gue ada jas hujan, tapi di motor" ujarnya kemudian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...