#40

7.5K 1.1K 411
                                    

Bram

"Buseeeet aus, Pak?"

Tere menepuk pundak gue tepat setelah gue menenggak shots ketiga gue malam ini. Ingar bingar bar yang terletak di rooftop salah satu gedung tinggi di Jakarta Selatan ini tampak semakin semarak. Gue merogoh ponsel yang sedari tadi gue kantongi di saku belakang jeans dan menyalakan layarnya; 5 menit menuju tengah malam.

Pft. Pantesan.

"Eh, Bram, tau nggak? Tadi gue kira lo bakal ngajak si anak Kesos itu... siapa tuh namanya?" Tere, yang tampaknya sudah sedikit tipsy melanjutkan racauannya sambil merangkul bahu gue. "Cuy, cuy, siapa nama degemnya Bram yang anak Kesos itu? Yang dia bikin pingsan pas PSAK?" tanyanya pada Janit dan Keefan, kawan kami yang masih tersisa di meja malam itu.

"Tai" gue hanya menanggapinya sambil terkekeh dan menggeleng pelan.

"Nit, siapa, Nit? Lo 'kan tibum juga waktu itu, masa nggak inget sih?" Tere menoleh ke arah Janit, yang kebetulan juga merupakan Tibum bareng gue dan Tere di PSAK tahun lalu.

"Iya, tau gue maksud lo... yang rambutnya pendek 'kan?" Janit menyahut sambil menjentikkan jarinya beberapa kali, seolah hal tersebut membantunya mengingat-ingat sosok yang dimaksud Tere.

"Iya! Itu, siapa? Besi... besi"

"Ah! Fe." Janit menjawab seraya menjentikkan jarinya keras-keras di hadapan Tere. "Ferrum. Eh, bukan. Febrianne. Ya 'kan? Bener 'kan gue, Bram?"

Gue memutar kedua bola mata lalu tertawa. "Lo semua tuh... anj—"

"Lagi ngomongin apa sih, seru banget?"

Gue, Tere, dan Janit otomatis menghentikan pembicaraan saat seseorang menghampiri meja kami dengan santai. Ini nih, sosok yang dikira Fe oleh Tere tadi.

"Biasa, Shif. Itu si Tere sama Janit" gue menjawab sekenanya seraya menuangkan lagi cairan bening dari botol di hadapan gue ke dalam gelas kecil dan menghabiskannya dalam satu tegukan.

"Faaaak, lagunya" Tere menggoyang-goyangkan kepalanya saat lagu yang merupakan remix dari sebuah lagu hits tahun 80an berdentum memenuhi ambience bar yang sudah padat ini.

"Sekarang atau lima puluh tahun lagi ku masih akan tetap mencintaimu~" ia melanjutkan sambil menggerakkan tubuhnya dengan sangat nggak esetetik. "Nit, nit ayo, Nit." Ia menarik Janit berdiri, hendak membawanya ke lantai dansa.

Janit hanya geleng-geleng sambil tertawa, meski ia mengikuti si gila itu berdiri juga untuk berdansa bersamanya. "Jangan malu-maluin gue lo, ya!"

"Kagak elah," Tere menjawab santai kemudian menoleh ke arah meja yang masih diisi oleh gue, Shifa, dan Keefan. "Bram, Fan, diem aja. Ayo! Eh, Shif lo juga ayolah lemesin aja"

"Yo ntar" gue menjawab singkat sebelum menuangkan kembali minuman ke dalam gelas dan menenggaknya dalam satu tegukan.

"Halah cupu lo semua" Tere berujar sambil tertawa kemudian bergerak bergandengan dengan Janit menuju dancefloor.

Gue, Shifa, dan Keefan hanya bisa tersenyum maklum melihat tingkah lakunya.

"Udah mabok tuh anak" Keefan berdecak pelan sambil terkekeh.

Gue menoleh ke arahnya kemudian mengikutnya tertawa. "Tumben lo nggak ngikut si gila ke dancefloor"

Yang bersangkutan hanya tersenyum kecil. "Kaga ah, males. Rusuh si Tere kalo udah ketemu diskoria. Biar aja tuh Janit yang ngurusin" lanjutnya di sela-sela kekehan, kemudian menyesap minuman di gelasnya sedikit.

Kalau pernah dengar ungkapan bahwa kuliah itu adalah kombinasi dari Buku, Pesta, Cinta, nah Tere ini adalah tipe orang yang hanya mengamalkan dua hal terakhir. Pesta dan Cinta. Malam ini, setelah dari beberapa hari yang lalu sibuk koar-koar di grup tongkrongan, ia mengajak gue dan beberapa kawan kami lainnya ke Lucy, untuk apa lagi kalau bukan party. Tadinya gue enggan ikut, lagi males sama keramaian. Males juga kalau gue harus berakhir jadi tim SAR—seperti biasanya jika gue mabok bareng Tere. Tapi, setelah dipikir-pikir lebih lanjut kayaknya nggak ada salahnya juga sih gue ikut, itung-itung melepas penat dan melupakan sakit hati akibat Fe.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang