#54

8.2K 1.3K 209
                                    

—Fe

Aku nggak tau kenapa aku mengatakannya.

"Lo... maafin gue nggak?"

"I'll try"

Aku menghela nafas panjang seraya membaringkan tubuhku di atas kasur. Kutatap langit-langit kamar dengan benak yang masih mengawang semenjak aku keluar dari mobilnya tadi. Sure, I'll try. Sesuatu dalam sorot matanya kala mengucapkan kalimat tersebut memang membuatku ingin berusaha memaafkannya. It was all a big fat misunderstanding, dan walaupun semuanya terdengar sangat bodoh, toh Kak Bram juga sudah dengan sukarela melucuti egonya untuk meminta maaf duluan.

So why can't I at least try?

Lo cuma takut, Fe. Nyaris secara otomatis, suara di dalam kepalaku menjawab pertanyaan tersebut. Lo cuma takut sakit dan terluka lagi the moment you decided to start anew. Jawabannya seesederhana namun serumit itu.

Menarik apa yang bisa dilakukan oleh hati yang patah terhadap diri kita. Aku pernah baca di internet, katanya patah hati bisa beneran membuat kita 'patah hati'. Rupanya ada satu jaringan di dalam jantung kita yang sangat sensitif terhadap reaksi emosional dan bisa dengan mudah "putus" kala kita mengalami kejadian-kejadian yang menyakitkan—putus cinta, ditinggal orang terdekat, gagal mendapatkan sesuatu yang diinginkan, and things like that.

To think about it now, masih untung sebenarnya aku nggak kena cardiac arrest saat Evan meninggal. Memang, kala mengingatnya, I could still feel the pain on my chest—and this is not a metaphor. Ada ngilu yang masih berdenyut di sana setiap kali mengingat hari naas yang merenggut nyawanya 2 tahun yang lalu itu. Well yeah, that could be a symptomps of a psychosomatic disease for all I know, but the pain is real. Apa yang aku rasakan nyata adanya dan ditinggal pergi tanpa aba-aba oleh seseorang yang merupakan segalanya bagiku memang semenyakitkan itu.

Rasanya, setelah Evan pergi ada sebagian dari diriku ada yang ikut pergi bersamanya, dan aku nggak yakin bagian yang hilang itu bisa ditambal dengan material yang baru. Apalagi sampai membiarkan orang lain berusaha menambalnya untukku.

Tapi, bagaimana kalau Kak Bram nggak berusaha untuk menambal bagianku yang rusak melainkan memutuskan untuk tinggal dengan segala kekurangan yang ada?

Aku berdecak dan berbalik untuk membenamkan kepalaku di antara tumpukan bantal. Nampaknya nggak hanya kemungkinan dia akan mematahkan hatiku lagi yang aku takutkan kala aku membiarkannya masuk, tapi juga kemungkinan bahwa dia akan nyaman dengan segala kekacauan yang masih tersisa dalam diriku ini.

Karena jika itu terjadi, artinya hanya satu; aku akan meninggalkan Evan di belakang.

That, I don't think I will ever be ready.

Tapi, mau sampai kapan? Kembali benakku bersuara. Sure, nggak ada yang bisa menjamin semuanya akan baik-baik saja jika aku membiarkan Kak Bram masuk, tapi memangnya selama ini semuanya sudah baik-baik saja? Nggak juga 'kan. Jadi apa bedanya?

"What the hell, Fe" aku menggumam pelan mengutuki diriku sendiri.

Tanganku terulur untuk meraih ponsel yang tergeletak nggak jauh dari tasku. Aku butuh berbicra dengan orang lain. Begini terus lama-lama, suara-suara di kepalaku bisa memakanku hidup-hidup—dan kita semua tahu hal itu nggak akan berakhir dengan baik.

For the sake of my own sanity, I need my voice of reason.

Aku nggak butuh berpikir panjang kala jemariku menekan kontak Harris di ponsel dan meneleponnya. Entah, aku merasa hanya dia yang bisa mengerti semua ini. He's been here before everyone and he still is. Lagipula, gara-gara Harris juga 'kan Kak Biram bisa-bisanya menemuiku di Menteng Pulo tadi, jadi bisa dibilang dia berhutang penjelasan padaku.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang