—Bram
Gue nggak percaya apa yang baru aja gue lakukan.
Oke, mengakui perasaan gue yang sebenarnya kepada Fe adalah hal yang sudah pasti akan terjadi—cepat atau lambat. Tapi, lebih dari itu, gue akhirnya juga memutuskan untuk membuka diri di hadapan Fe akan trauma gue yang dulu pernah dicurangi dalam suatu hubungan. Di hadapannya, gue nggak segan-segan menelan ego gue bulat-bulat dan dengan jujur memperlihatkan padanya luka yang juga gue miliki.
Ini sesuatu yang baru. Lagi-lagi, sebuah quantum leap dalam sejarah Yudhistira Bramantyo berhadapan dengan perempuan.
Mungkin sesuatu dalam diri gue memang menginginkan ini. Gue ingin Fe tahu bahwa gue juga pernah merasakan sakitnya ditinggalkan, walaupun yeah, kalau dibandingkan dia yang ditinggal selama-lamanya, sakit hati gue ini tentu nggak ada apa-apanya. Gue ingin dia tahu bahwa dia nggak perlu khawatir akan kemungkinan gue menyakitinya. Nggak akan gue mengizinkan hal itu terjadi sampai kapan pun. I'll fight the shit out of myself if I had to.
Wiper yang bergerak lamban, alunan lagu Coldplay yang terputar di radio, dan hening yang pekat memenuhi ruang mobil ini.
Sejak kami berdua meninggalkan Menteng Pulo sekitar satu jam yang lalu, Fe nggak sekalipun membuka mulutnya untuk berbicara. Jangankan bicara, menatap gue aja nggak—sebaliknya, ia hanya diam dan serius menghujamkan tatapannya ke arah jalanan yang basah akibat rintik hujan yang turun sore ini. Gue yang sibuk menyetir juga masih nggak enak untuk memulai pembicaraan, jadi gue hanya bisa kembali menjadi pengecut yang diam-diam mencuri tatap ke arahnya sesekali.
Gue selalu penasaran apa yang ada di dalam kepala Fe kala ia sedang tenggelam dalam sunyinya sendiri. Apa lo masih mikirin dia, Fe? Apa ada kemungkinan bagi gue, walau sedikit, untuk juga singgah di dalamnya? Atau lo bahkan udah nggak sudi untuk memikirkan gue dalam diam?
Lampu merah. Benak gue nyaris secara seketika melakukan kilas balik pada malam penghujan saat gue mengantarnya pulang selepas kami menghabiskan waktu di timezone dan sebuah warung tenda seafood nggak jauh dari kampus. Tangannya yang terselip di saku jaket gue serta kedua lengannya yang melingkari pinggang gue dengan longgar menghidupkan sebuah perasaan baru di dalam diri gue. Hangat. Fe membuat gue merasa hangat meski udara sedang dingin menusuk tulang.
Kemudian malam itu di Cikini. Saat Fe tersenyum seraya bersenandung bersama seorang pengamen yang mampir di meja kami kala tengah menyantap makan malam. Gue ingat persis ekspresinya; ekspresi yang membuat gue mengutuki diri semalaman karena nggak sempat membawa serta kamera gue untuk mengabadikannya dalam lembar-lembar film.
Lalu datang membanjir memori-memori lainnya; di Ragunan, tempat cuci foto di Pasar Minggu, kedai kopi Bang Yudho, Backyard...
"Stop acting like you know my pain. You don't"
Kembali terulang kata-kata itu. Gue menghela nafas panjang.
Gue mungkin memang nggak tahu apa-apa soal rasa sakitnya, heck, gue bahkan baru tahu soal masa lalu Fe kurang dari 24 jam yang lalu—itu juga bukan langsung dari mulutnya, melainkan dari pihak ketiga. Tapi, seandainya saja Fe mengizinkan, sumpah demi Tuhan gue rela menanggungnya bersama.
Yeah, seandainya.
"Nanti di depan belok kiri"
Gue menoleh kala mendengar gumam pelan yang keluar dari mulut Fe tiba-tiba. Gue patuh mengikuti, dan memutar kemudi menuju arah yang ditunjuknya. Nggak lama, gue pun menghentikan mobil di depan sebuah pagar familiar.
Fe bergerak untuk melepaskan seatbelt yang sedaritadi dikenakannya. Ia masih belum mengucapkan apa-apa lagi, seolah memang tidak berniat untuk itu. Gue menatapnya dalam diam seraya ia menyampirkan kembali tasnya dan bersiap untuk turun.
"Fe," gue akhirnya memutuskan untuk memanggil namanya. Sebuah usaha untuk menahannya sebentar lagi saja.
Gue hanya butuh sebentar lagi saja.
"Ya...?" Fe menoleh, menatap gue dengan tidak yakin.
Kerongkongan gue rasanya kembali tercekat kala gue beradu pandang dengan manik hitamnya yang tajam. Perempuan di hadapan gue ini efeknya mengerikan juga. Setelah berhasil membuat gue menanggalkan ego gue dengan suka rela di depannya, ia masih saja bisa membuat gue kehilangan nafas saat menatapnya.
"Lo... maafin gue nggak?" tanya gue akhirnya dengan kehati-hatian yang berada di level maksimum.
Fe termenung sesaat di tempatnya setelah gue melontarkan satu pertanyaan tersebut. Ia tampak seperti tengah berpikir untuk beberapa saat sebelum menjawab dengan bibir terlengkung samar—yang semoga saja bermakna senyuman.
"I'll try" begitu ujarnya sebelum membuka pintu dan turun dari mobil gue.
Gue menyempatkan diri untuk menatapnya berjalan masuk ke rumah hingga sosoknya hilang dibalik pintu.
She'll try. At least she'll try.
Mungkin untuk saat ini baru itu yang pantas gue terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...