#48

7.7K 1.3K 367
                                    

Bram

Ibaratnya lagi main game, saat ini seluruh data gue lagi kena reset dan gue terpaksa mengulang kembali seluruh permainan dari level satu.

Sial, gue lupa kalau mendekati Fe merupakan sebuah usaha yang nggak mudah. Sangat, sangat nggak mudah jika boleh gue tambahkan.

Setelah dengan bodohnya hanya mengucap 'duluan ya' saat gue akhirnya bertatap muka dengan Fe tempo hari, gue nggak lagi menemukan kesempatan untuk terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan durasi lebih dari 5 detik dengannya. Tiap kali kami (nggak sengaja) berpapasan di kampus, Fe selalu bertindak seolah-oleh gue ini tembus pandang, atau gue abis menjalani prosedur operasi plastik yang membuat seluruh wajah gue berubah menjadi sesuatu yang benar-benar baru dan asing baginya.

Udah berdiri di depannya aja, Fe masih bisa melewati gue dengan santai tanpa merasa perlu berhenti sebentar untuk bilang 'Hai' atau sekedar tersenyum singkat. Nggak dianggep coy gue.

Yeah, yeah, sebelum kalian semua ngomelin gue, gue mau bilang kalau gue sudah sadar bahwa apa yang terjadi di antara gue dan Fe sekarang sebagian besarnya merupakan hasil kebodohan gue sendiri. Tiga hari mendekam di kamar kos setelah perkelahian itu, memberi gue cukup waktu untuk berpikir dan berefleksi atas apa yang terjadi. Gue terlalu cepat melompat pada kesimpulan, gue bodoh dengan nggak mencari tahu lebih lanjut mengenai hubungan Fe dan cowok itu, gue juga brengsek karena terlalu terburu-buru mencari 'pengganti' Fe tanpa memastikan dulu asumsi gue sebelumnya.

Seneng 'kan lo semua gue ngaku?

Gue tahu gue adalah pihak yang bersalah dalam kasus ini, dan gue dengan tulus ingin berbicara dengan Fe untuk meluruskan segalanya. Tapi, apalah arti niat mulia gue ini kalau yang bersangkutan aja tampak nggak sudi lagi untuk melihat wajah gue di hadapannya?

"Bang, yang lain belom dateng?"

Satu kaleng milo, dan sebungkus permen karet. Gue mendongak hanya untuk menemukan Dodi yang telah duduk di hadapan gue di bangku semen ini sambil mengunyah sesuatu yang gue tebak adalah permen karet.

Gue menghela nafas kemudian menggeleng. "Belom, gue sengaja aja dateng duluan"

"Ooh," Dodi mengangguk, kemudian membuat balon dari permen karetnya. "Eh, mau nggak, Bang?" ia menyodorkan bungkus permen karet berwarna ungu tersebut ke arah gue, yang tentu saja gue sambut dengan tangan terbuka.

"Kelas lo udah selesai, Dod?" tanya gue sambil membuka sebungkus permen karet kemudian mengunyahnya perlahan.

"Udah, Bang."

"Nggak kumpul osjur?"

Dodi menggeleng. "Nggak ada kumpul osjur hari ini. Cuma ngomongin pentas teater aja tadi"

"Ooh," gue mengangguk lalu membuat balon dari permen karet gue. Gagal.

Sore ini gue dan anak-anak merencanakan kumpul lagi, mematangkan materi lagu yang akan kami bawakan untuk Art War. Sebenarnya lagunya udah ada dan tinggal rekam demo aja. Tapi, setelah dikulik lagi di sesi latihan terakhir kita beberapa hari silam, ternyata masih ada bagian-bagian lirik yang harus dibicarakan lebih lanjut serta dikoordinasikan dengan ketua kontingen FISIP untuk Art War. Kumpul sore ini rencananya juga akan dihadiri oleh sang ketua kontingen tersebut, tapi dia bilang hanya bisa mampir sebentar karena harus ngider mengawasi latihan para kontingen di cabang yang lain.

Semilir angin berhembus ringan di sore yang cukup mendung ini. Nggak ada pembicaraan yang berlanjut antara gue dan Dodi, masing-masing dari kami kembali sibuk dengan dunianya sendiri—Dodi dengan ponselnya, dan gue dengan... ruwetnya isi kepala gue.

Gue bisa merasakan bagian-bagian tubuh gue yang lebam akibat perkelahian kemarin masih sedikit ngilu, walaupun nggak mengalahkan ngilunya kembali dianggap nggak ada oleh Fe.

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang