#32

8.2K 1.3K 161
                                    

Bram

Empat pasang mata menatap layar ponsel yang menyala muram di atas meja. Perpaduan warna biru dan hijau memenuhi layar berukuran 4,7 inchi tersebut sementara display yang terpampang adalah sebuah chatroom yang baru saja menampakkan satu notifikasi baru. Notifikasi itu bukan berupa pesan teks, suara, ataupun multimedia, melainkan hanya berisi sebaris singkat huruf yang membentuk kalimat:

Achmad Zunifar has left the chat.

Iya. Itu yang tertulis di sana.

Gue menjadi yang pertama mengangkat wajah untuk menatap 3 orang lain yang ada di ruangan ini ini. Satria mengerutkan keningnya sementara bibirnya tertekuk ke bawah sedikit—sebuah ekspresi yang menandakan bahwa ia nggak sedang bahagia atas apa yang barusan dilihatnya. Jeff menghentikan kegiatannya mengunyah ciki-cikian yang entah dia dapat dari mana dan mengedip beberapa kali, seolah berusaha memastikan matanya yang sudah berlapis kacamata itu nggak salah lihat (atau mungkin terkena ilusi optik dari lensa yang ia gunakan). Sementara Wira tampak bengong, ekspresinya menunjukkan kebingungan yang teramat akut.

"Ini... I mean, is he for real?" Jeff berujar seraya menoleh untuk menatap kami satu per satu. "Ini anak nggak lagi becanda 'kan?"

Satria menghela nafas sebelum menarik mundur tubuhnya untuk bersandar di sofa ruang tengah rumah Wira, tempat kami berada saat ini. Kedua lengannya terlipat sementara kedua alisnya masih tertaut erat.

Wira yang duduk di sisi Satria pun membuka suara. "Telepon aja apa anaknya? Gue deh yang ngom—"

"Lo yakin emang bakal diangkat?" Jeff menyanggah ide tersebut dengan cepat. "Gue japri dari kemaren aja kagak dibales-bales"

"Ya siapa tau..." Wira mengangkat bahunya. "Gimana, Bram? Sat? Enaknya gimana nih? Nggak lucu banget anjir dia tau-tau left gini nggak ada omongan apa-apa"

Gue yang kedapatan duduk di atas karpet mengangkat satu kaki gue dan melipatnya di depan dada sebelum menjawab. "Gue bingung dia nih maunya apa. Udah kita ajakin kumpul hari ini biar clear masalahnya, dia malah kabur. Udah gitu pake left segala lagi" ujar gue sembari menatap Wira, kemudian Satria.

"Nah itu. Itu." Jeff yang duduk di seberang gue menjentikkan jarinya dengan semangat.

Kami berempat kembali bertatapan dalam kebingungan yang serupa. Jun left dari group chat Enam Hari tepat di hari di mana kita sepakat untuk membicarakan masalah kemarin secara baik-baik adalah sebuah tindakan yang nggak terduga. Ya, dia memang nggak menyahut apa-apa sih saat kami merencanakan pertemuan hari ini di group. Dan kita sebagai umat yang nggak mau suudzon masih berprasangka baik, mungkin dia bakal langsung dateng tanpa harus nyautin apa-apa.

Eh taunya. Si kampret malah left. 'Kan tai itu namanya.

"Gue aja deh yang ngomong sama dia." Satria akhirnya berujar setelah tadi cuma berdiam diri tanpa menuturkan satu patah kata pun.

Tanpa basa-basi lagi, ia pun mengeluarkan ponsel dari saku jeans-nya kemudian langsung menghubungi kontak yang bersangkutan.

"Sat, loudspeaker sat" ujar Wira.

Satria hanya membalasnya dengan satu tangan terangkat, menggestur Wira untuk diam sejenak sampai teleponnya diangkat. Gue dan Jeff mendongak, menatap Bapak satu itu dengan sedikit was-was. Diangkat kaga nih?

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat. Lima. Enam. Tujuh...

Setelah menunggu beberapa saat, Satria pun menurunkan ponselnya.

"Nggak diangkat" ujarnya.

"Udah gue tebak sih," gue berdecak pelan. "Kayaknya kalo lo yang nelepon nggak bakal diangkat sama dia, Sat."

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang