#42

7K 1.2K 66
                                    

Harris

Selama nyaris 5 tahun bersahabat, hati gue nggak pernah sesakit ini saat Fe menatap gue dengan kedua maniknya yang tajam dan ekspresi yang jauh dari kata bersahabat di wajahnya.

"Lo ngapain, Ris?"

Hanya itu. Hanya itu yang dia katakan sesaat setelah ia turun dari ojek online yang mengantarnya pulang entah dari mana, dan menemukan gue dan motor gue yang terparkir di depan pagar rumahnya. Siksaan panas matahari Jakarta yang menemani gue sejak beberapa saat yang lalu, rasanya nggak ada apa-apanya dibandingkan sorot mata Fe yang menghujam ke arah gue sekarang.

Nggak ada 'hai', nggak ada senyum, nggak ada 'masuk aja sih masih kaku aja lo sama gue' dari Fe. Yang ada hanya hening dan ngilu yang merambat pelan-pelan melingkupi hati gue yang sudah nggak karuan ini bentuknya.

"Fe, gue mau jelasin..." gue menelan ludah. "...yang kemaren"

Gue hampir bisa melihat Fe memutar kedua bola matanya. "Jelasin apa lagi sih, Ris?"

"Gue..."

Fe mengangkat alisnya saat gue terdiam sejenak untuk menyusun kata-kata.

"Gue... minta maaf," ujar gue akhirnya. "Tapi bukan karena gue bilang gue sayang sama lo. Gue sayang sama lo, itu beneran. Gue nggak akan narik kata-kata gue soal itu—toh kalau gue nggak bilang kemaren, sooner or later the words will come out anyway—"

"What are you trying to say here, Harris?" Fe memotong kalimat gue cepat seolah ia sudah cukup muak untuk mendengarnya lebih lama lagi.

"Right, I'm sorry" hampir secara refleks gue pun menggumam mengoreksi diri sendiri. "What I'm trying to say is... I'm sorry. Gue minta maaf karena apa yang gue katakan kemarin udah ngerusak hubungan pertemanan kita, I really don't mean to, I just want you to know"

"I know now, Ris. Tapi, terus apa?" lagi-lagi, Fe memotong kalimat gue. Gue menatapnya bingung.

"Apa setelah ini gue bisa tetep nganggep lo seseorang yang siap sedia gue curhatin lagi soal Evan—atau siapapun lah itu? Apa gue bisa tetep ngeliat lo sebagai Harris yang netral dan tanpa pretensi tiap lo ngasih saran atas curhatan gue? Apa gue tetep bisa nangis di pundak lo tanpa harus takut lo manfaatin kesedihan gue buat keuntungan lo sendiri?" tanyanya bertubi-tubi dengan kedua manik hitam yang menusuk tajam ke arah gue.

Perih rasanya. Seandainya Fe tahu gue bahkan nggak mengharapkan sedikitpun balasan darinya atas apa yang sudah gue lakukan selama ini buat dia. Gue cuma pengen liat dia seneng, itu aja. Gue udah bilang 'kan gue suka banget lihat Fe ketawa, dan gue mau itu terjadi lebih sering.

Syukur-syukur kalau gue yang menjadi alasan dibalik tawanya.

Gue menghela nafas panjang.

"Fe, satu hal yang harus lo tau, gue nggak pernah sekalipun tega untuk manfaatin lo dalam situasi apapun," gue berujar sungguh-sungguh. "You are my bestfriend. Orang kayak apa sih yang pengen liat sahabatnya nangis terus karena bolak-balik disakitin satu bajingan yang sama?" lanjut gue seraya menantang tatapannya.

"You don't say that about him, you don't know him."

"I do. We all do. The whole fucking school knows what Evan did to you!" ujar gue dengan intonasi yang naik satu tingkat lebih tinggi dari biasanya. Namun, sedetik setelah melihat bersit terluka di mata Fe, gue menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur kembali emosi yang tadi sempat memuncak ke ubun-ubun.

"Oke sori, that was too harsh" gue berujar lagi dengan kepala tertunduk. "Fe, lo mungkin masih belum mau ngelepasin dia—even after all this time, dan gue berusaha memaklumi itu. Tapi lo juga nggak bisa terus-terusan nyangkal kalau dia pernah nyakitin lo, dan dia ngelakuin itu berkali-kali."

Fatal AttractionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang