—Fe
Setiap kali kepalaku memutuskan untuk menghadirkan kembali Evan ke dalamnya, hal-hal ini kerap menjadi yang pertama kali muncul;
Jumat sore, gudang di lantai tiga sekolah.
"Van, itu Harris. Sahabat gue. Temen sebangku gue. Lo tau dari semua orang di dunia ini, dia yang paling nggak mungkin buat—"
Aku nggak sempat menyelesaikan kalimatku. Heck, bagaimana aku bisa melanjutkannya kalau bernafas aja rasanya sulit dengan jemarinya yang tiba-tiba sudah melingkar erat di leherku.
"Fe, lo itu cuma milik gue" desisnya dengan kedua mata yang menatapku nyalang. "Dan gue nggak pernah suka berbagi"
Sabtu malam, taman di belakang kompleks perumahanku.
"Fe, gue minta maaf"
"Fe, please jangan giniin gue... Gue minta maaf. Gue nggak akan begini lagi"
Aku menoleh ke arah luar jendela mobil untuk menghindari tatapannya. Hampir secara refleks, tangan kananku bergerak menyentuh bekas membiru yang masih tersisa di pergelangan tangan satunya.
"Mau sampe kapan, Van?"
Kamis sore, area parkir Taman Ismail Marzuki.
"Buat lo."
Tiga tangkai bunga matahari dan selembar sketsa. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku melihat sebentuk senyuman tulus terlengkung di wajahnya yang keras.
"Dalam rangka apa?"
Ia mengangkat bahu, masih dengan senyuman yang sama. "Nggak ada. Cuma kepikiran aja tadi waktu lewat tukang bunga, kayaknya lo cocok sama bunga matahari"
"Karena?"
"Senyum itu."
Minggu malam, kamar Evan.
"Thank you"
"For...?"
"Staying."
Aku tersenyum sembari menelusuri lengan kokoh Evan yang dihiasi bekas-bekas luka di sekujurnya dengan ujung jemariku.
All that is lost, we have found in each other that night.
"Terimakasih kembali"
Jadi, kembali aku di sini. Di bawah teduhnya pohon beringin dengan setangkai bunga matahari di tangan. Hijau pusara Evan belum berubah sejak terakhir aku datang kemari. Rerumputan yang tumbuh di atasnya bahkan terlihat tumbuh makin subur—tanda bahwa belum ada lagi yang berkunjung ke sini setelahku waktu itu.
Kududukkan tubuh di sisi nisannya sebelum meletakkan bunga berwarna cerah yang tadi kubawa di atas pusaranya. Semilir angin terasa sedikit lebih sejuk daripada biasanya, mungkin karena langit di atas sana mulai berubah abu-abu.
Aku mendongak. Di sana ada mendung dan hujan juga nggak ya, Van?
"Kalau dipikir-pikir, gue ternyata kuat juga ya hidup tanpa lo" aku berujar pelan membuka pembicaraan.
Sayup suara mesin kendaraan dan klakson yang bersahutan menjadi pengiringku sore ini.
"Di sana menyenangkan nggak, Van? Ada mendung juga nggak? Hujan? Panas?" lanjutku sembari menengadah menatap mendungnya langit ibukota. "Surga dan neraka sama nggak kayak yang digambarin di komik bekas yang suka lo beli di Kwitang dulu?" aku kemudian terkekeh.
Dulu, kami kerap mengunjungi Kwitang untuk membeli komik-komik lama maupun novel stensil bekas hanya untuk menertawakan kontennya. Kegiatan yang aneh memang kalau dipikir-pikir.
"Kangen nggak sama gue? Atau malah nggak karena lo sekarang bisa lebih bebas ngawasin gue kapan aja dan di mana aja?" kutolehkan kepalaku ke arah batu marmer yang berukirkan namanya sambil tersenyum.
Sembari memeluk lutut, aku melanjutkan kembali 'dialog'-ku. "I never thought I could ever survive after you're gone. Well, kepikiran untuk nyusul sih nggak ya," aku berhenti untuk terkekeh sendiri. "Tapi gue selalu ngira, gue nggak akan lagi bisa jadi Fe yang dulu—you know, the Fe that exist before you're gone"
Aku menghela nafas saat hembusan lembut angin sore bertiup menerpa wajahku. "...and I also thought I'd never fall with someone new after you..."
Kemudian aku diam. Sosok wajah familiar yang belakangan ini kerap mengisi hari-hariku pun muncul di dalam kepalaku. Senyumnya, lengkung matanya yang seperti bulan sabit, tawanya, suaranya...
"Do you mind?" aku menoleh menatap pusara Evan dan setangkai bunga matahari yang kuletakkan di atasnya.
"Gue rasa, kalau lo sekarang memang bisa ngawasin gue di mana pun dan kapan pun lo mau, lo pasti tau siapa yang gue maksud. Ya 'kan?" ujarku sembari memainkan tangkai-tangkai bunga liar yang ada di sekitar tempatku duduk. "Dia emang bukan lo, dan nggak, dia juga nggak akan bisa menjadi elo. But I think he's... okay. What do you think, Van?"
Tepat setelah aku menyelesaikan kalimat tersebut, ponsel di saku belakang jeans-ku bergetar dua kali tanda pesan masuk. Aku merogohnya, hanya untuk mendapatkan notifikasi dari sosok yang tengah kubicarakan saat ini, terpampang di layarnya.
"Panjang umur," kekehku pelan. "Here he is, Van. Dia nanya: 'Fe, Sabtu minggu depan kosong nggak? Jalan yuk' Gimana nih?" lanjutku sambil tersenyum.
Kutekan tombol power untuk mematikan layar yang menyala redup itu dan meletakkan sang gadget di atas tanah.
"Ada satu pertanyaan dari Ceu Amel yang terus-terusan looping di kepala gue terkait dia. Konteksnya waktu itu dia ngajakin gue pergi nonton band-nya nge-gigs di sebuah kafe. Gue bilang ke Ceu Amel, gue nggak tau mau dateng apa nggak. Tebak Ceu Amel malah bilang apa? Dia bilang: 'Lo nggak tau 'kan, bukannya nggak mau?'" ujarku kemudian menarik nafas panjang.
"Jujur, gue nggak tau, Van. Gue nggak tau apakah gue mau dia ada di hidup gue the same way you did back then, atau nggak. Gue nggak tau..."
Tapi bukan nggak mau. Aku menggigit bibirku pelan saat benakku melanjutkan kalimat tersebut.
Langit telah menggelap meski hingga kini belum juga ada tetes air yang jatuh turun membasahi tanah. Deru mesin kendaraan pun terdengar semakin ramai seraya waktu merangkak mendekat menuju jam pulang kantor. Semilir angin yang tadi berhembus lembut, kini bertambah kencang—menyapa anak-anak rambutku dan mengajaknya menari dengan liar.
"Kalau memang dia orangnya, gue harap lo nggak keberatan ya?" ujarku akhirnya. Sesuatu di dalam hatiku bergejolak sedikit saat mengatakannya, meski setelahnya aku juga merasa seperti ada sejumput beban yang terangkat dari sana.
Kemudian setetes dingin air hujan jatuh menyentuh lenganku. Aku melongok ke atas menatap gumpalan awan mendung yang berkumpul di sana. Lalu air jatuh setetes lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Sebuah senyuman pun tau-tau terkembang mengikuti. Aku memejamkan mata sejenak menghirup damai aroma petrichor yang perlahan menguar di udara.
If this is your way of saying yes; thank you, Van. I'll let go of you gracefully. I promise.
***
A/N:
FYUH GUSTI AKHIRNYAAAAAAAA. Selain chapter yang enam hari ribut krn jun, kayaknya ini chapter paling susah buat ditulis deh. Fe is complex i need a little more time to dwelve into her mind.
So here it is. I hope i wont take this much time for the next chapter bcs things are going to get reaaaaaaaally bumpy (i know i said that a lot but this time i truly mean it)
Btw, minal aidzin wal faidzin kawan2! Telat banget ya hahahahaahahahah. Maaf ya kl admin mockingjaybirdx punya salah, kalian juga udah aku maafin kok (?)
Hehe.
With love,
F.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
أدب نسائيIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...