—Bram
"Kamu ada apa sama Saddam?"
Gue ingat, hari itu hari Jumat. Hari dimana gue dan Aurum memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Suasana mobil gue, tempat kami berada saat itu, hening. Nggak ada suara apapun yang terdengar selain deru pelan mesinnya yang masih gue biarkan menyala dan dengung halus pendingin udaranya. Di depan pagar rumah Aurum, kami berdua terdiam berbalut tegang.
"Maksud kamu apa, sih?"
"Pertanyaan aku kurang jelas?" kembali gue bertanya dengan nada yang sekuat tenaga gue buat datar. Padahal, kalau bisa ngamuk mah gue udah ngamuk kali dari tadi. Atau minggu lalu.
"Bram, aku nggak ngerti—"
Gue memutar kedua bola mata lalu menoleh menatapnya tajam. Banyak alasan, seperti yang sudah gue perkirakan.
"Siniin HP kamu" ujar gue dingin.
Aurum tampak menautkan alisnya bingung atas permintaan gue. "Apaan sih Bram, kenapa tiba-tiba kamu minta—"
Sayangnya, kesabaran gue kala itu nggak cukup banyak untuk sampai membiarkan Aurum menyelesaikan kalimat protesnya. Dengan cepat, tangan gue merebut ponsel yang sedari tadi berada di genggamannya untuk membuka sebuah jendela percakapan yang gue sudah tau pasti akan ada di sana.
Ekspresi panik dan kaget bercampur jadi satu di wajah Aurum saat gue menunjukkan padanya layar ponsel yang menampilkan percakapannya dengan Saddam di aplikasi WhatsApp.
"Udah berapa lama kamu begini sama Saddam?" gue bertanya lagi. "Sejak kapan? Bulan lalu? Sejak kamu masuk kuliah? Atau jangan-jangan sejak kita masih SMA? Iya?"
Aurum pun kikuk saat pertanyaan itu terlontar. Tatapannya berlarian; ke arah jendela, kemudi, radio, pohon di luar, wiper—kemana pun, selain mata gue.
"Aku nggak maksud..."
"Kamu nggak maksud apa? Nggak maksud sayang-sayangan sama Saddam? Nggak maksud pergi berdua sama dia? Nggak maksud bohongin aku?" ujar gue tajam. "Nggak maksud apa, Rum?"
"Maaf..." hanya itu balasnya. Lirih. Nyaris nggak terdengar.
Gue menghela nafas dan mengusap wajah dengan lelah. Sudah lewat seminggu berlalu sejak gue pertama kali menemukan fakta bahwa Aurum selingkuh dengan Saddam. Dan sudah lebih dari seminggu pula gue mempersiapkan diri untuk momen ini. Tapi, entah kenapa gue masih bisa merasakan perih menggores hati gue saat gue harus beneran melakukannya.
Nyaris tiga tahun terbuang gitu aja dalam satu malam, akibat satu kesalahan fatal.
"Rum, kamu tau 'kan apa yang paling aku benci di dunia ini?" gue akhirnya berujar setelah hening sempat kembali melingkupi kami berdua selama beberapa saat.
"Bram, kamu nggak ngerti..." Aurum masih berusaha menyanggah. "Aku sayang sama kamu, Bram. Sayang banget—"
"Lebih dari Saddam?" gue lagi-lagi memotongnya.
Dan dengan itu, Aurum pun kembali bungkam. Gue menatapnya, menunggu. Di saat yang bersamaan, gue membenci diri gue yang masih memiliki secuil harapan bahwa ia akan mengangguk dan menjawab 'iya'.
"Maaf... Aku nggak pernah niat buat nyakitin kamu. Sumpah mati aku nggak pernah niat sedikit pun buat itu. You're a good man, Bram. You do." ia menggeleng pelan, suaranya mulai bergetar. "Tapi Saddam..."
Gue diam, menunggunya untuk melanjutkan. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Lagi-lagi hanya sunyi yang datang mengisi. Aurum menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tajam tatapan gue. Ingin rasanya gue mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya dan menariknya kembali ke dalam pelukan gue, tapi ingatan atas apa yang telah ia lakukan di belakang gue selama ini menahan gue untuk melakukannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Attraction
ChickLitIni bukan hanya tentang Bram dan lika-liku perjalanannya dalam mendapatkan sang pujaan hati. Bukan juga tentang Fe dan luka-luka masa lalu yang masih menghantui setiap siang dan malamnya. Juga bukan tentang Harris beserta perasaan-perasaan yang tak...