Jena meregangkan tangannya sambil berlari kecil ke ruang makan. Ia tak sengaja tertidur selama empat jam setelah tadi merendamkan dirinya di air panas.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Semua pelayan terkecuali penjaga rumahnya dan Bibi Han sudah kembali ke tempat mereka masing-masing.
Jena mengusap perut ratanya yang barusan berbunyi meminta asupan.
Jena mendesah pelan saat melihat tak ada makanan apapun yang tersedia diatas meja makan. Lantas ia mengecek dapur dan juga lemari pendinginnya.
"Apa aku harus membeli ramen?" gumamnya pelan saat tak menemukan sesuatu yang bisa ia makan.
Ia kemudian naik kembali ke kamarnya yang berada di lantai atas. Ia mengganti celana pendek rumahannya dengan jeans panjang lalu menggambil jaket denimnya, ponsel, dan beberapa lembar won dari dompetnya dan memasukan semua itu kedalam kantung belakang celananya.
Jena yakin ia akan dimarahi habis-habisan bila ketahuan keluar larut malam seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, perutnya saat ini sudah meraung-raung layaknya seekor singa yang kelaparan.
Kemudian dengan pelan ia membuka pintu rumah dan berlari kecil kearah gerbang utama. Ia melihat penjaga rumahnya sedang tertidur pulas, lantas ia berusaha mengangkat pengait pintu dan mendorong pintu itu sepelan mungkin agar tak membangunkan sang penjaga rumah tersebut.
Berhasil. Ia berhasil keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh siapapun. Ia berlari pelan dan saat sudah berada lumayan jauh dari rumahnya, ia memelankan langkahnya.
Jena memasukan tangannya kedalam kantung jaket denim yang ia gunakan. Ia menghembuskan nafasnya pelan lalu menatap keatas, melihat taburan bintang yang menemani langkahnya malam ini.
"Apa kau sudah menjadi salah satu dari mereka?" tanya Jena sambil terus menatap bintang-bintang di angkasa.
"Kalau kau sekarang disini, aku yakin kau pasti akan berhenti lalu membaringkan tubuhmu di tengah jalan," Jena terkekeh pelan, "aku juga tak tahu mengapa aku mencintai orang gila sepertimu."
Jena memutar kembali memori di mana pria itu secara sengaja dengan mendadak membaringkan tubuhnya di atas zebra cross. Untungnya saat itu tak ada satu mobil pun yang melewati mereka.
Jena masih terkekeh pelan sampai akhirnya tiba-tiba sebuah air mata menetes pada pipinya, ia langsung menyeka air mata tersebut dengan kasar.
"Dasar brengsek."
Jena mengedipkan matanya beberapa kali untuk menyadarkan dirinya bahwa tujuan ia saat ini adalah mencari ramen. Bukan menangisi seseorang yang bahkan sudah tak ia ketahui dimana letaknya.
Jena akhirnya sampai pada trotoar jalan raya, lalu berjalan cepat ke arah minimarket yang menyala terang di antara belasan toko yang sudah tak lagi beroperasi saat larut malam seperti ini.
Jena masuk kedalam minimarket tersebut dan langsung mengambil ramen, kimchi, dan juga keju lembaran yang nantinya akan ia taruh diatas ramennya.
Ia kemudian menuju ke kasir dan menaruh barang-barangnya tersebut, "Totalnya 3 ribu won."
Jena mengambil selembar uang dari sakunya lalu memberikannya kepada sang kasir yang sedang bertugas.
"Terima kasih, dan kau bisa mengambil telur di sebelah
bila kau mau."Jena mengambil kembalian yang diberikan kasir tersebut lalu mengambil barang belanjaannya, "Gratis?"
"Karena kau pelanggan pertamaku malam ini, aku berikan kepada mu secara cuma-cuma," ucap pria tersebut yang Jena yakini adalah seorang siswa sekolah.
"Gomawo!! Dan rajin-rajinlah belajar Hyunwoo-ya!" Jena membaca name tag yang masih terpasang di dada pemuda tersebut sambil tersenyum lebar.
Tak ingin berlama-lama, Jena kemudian langsung menyeduh ramennya, tak lupa ia memasukan telur dan juga keju yang tadi ia beli.
"Selamat makan!" teriaknya pada dirinya sendiri.
Untungnya tak ada siapapun di sekelilingnya. Bila ada, pasti mereka sudah mengatai Jena sedikit kurang waras karena berteriak sendiri.
Saat ia baru saja ingin menyuap ramennya tersebut, ada getaran dari ponselnya yang sengaja ia letakan di atas meja.
Ia membuang nafasnya kasar lalu mengankat ponselnya untuk melihat caller-id yang tertera di layar ponsel.
Kim Taewon.
Ya kemarin itu, Taewon memang meminta nomornya. Tetapi ada perlu apa ia menelpon Jena pada tengah malam seperti ini.
"Halo?" Jena mengangkat panggilan tersebut.
Suara Taewon terdengar panik di sebrang sana, "Noona! Noona! Ini gawat!"
Jena mengerutkan keningnya, "Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Ada apa Taewon-ah?"
Terdengar suara isakan dari sebrang sana, membuat Jena semakin panik, "Ya! Mengapa kau menangis?!"
"Ah itu Taewoo, noona. Tapi masalahnya saat ini adalah Taehyung hyung," ucap Taewon.
"Hyung mu kenapa?" tanya Jena dengan malas.
"Temanku berkata bahwa ia melihat Taehyung hyung sedang berada di club dan penampilannya sangatlah kacau noona."
Jena mengaduk kuah ramennya yang mulai mengering, "Telpon supir kalian untuk menjemputnya."
"Tuan Kang sudah pulang, dan juga sekretarisnya sedang berada di luar kota. Dan juga..." Taewon mendesah, "... kami berdua tak dapat membantu apapun, noona tahu kan betapa galaknya eomma kepada kita lagipula usia minimum untuk masuk ke club itu adalah 20 tahun."
"Bagaimana temanmu dapat masuk?" tanya Jena penasaran.
"Ia memakai id palsu."
"Jadi aku harus bagaimana saat ini?"
Taewon mendesah pelan, "Tolong bantu kami noona. Bila hyung mabuk, ia bisa berbuat sesuatu yang dapat merusak reputasinya sendiri."
Jena yang mendengar hal tersebut kemudian tersenyum kecil. Rupanya ia sangat menyayangi kakaknya yang menyebalkan itu.
Jena menghembuskan nafasnya pelan.
"Aku akan menjemputnya."
"Terima kasih noona!" teriak Taewon antusias.
Jena pun terkekeh kecil mendengar teriakan Taewon dan juga Taewoo yang terdengar dari sebrang sana. Kemudian ia menatap kebawah dan baru menyadari sesuatu.
"Tetapi, biarkan aku menghabiskan ramenku dulu! Dasar penganggu!"
Thank you for reading :))
-Berryl
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTUMN WHITE LIES
FanfictionSaat musim gugur, semua orang mempunyai kisahnya masing-masing. Begitu pula dengan Jena, yang kisahnya entah berakhir bahagia atau bahkan terlupakan. ©seoulatnight 2017