Lies

8.7K 1.1K 65
                                    

Jena menggoyangkan kakinya gelisah. Ia kemudian menggigit kukunya selagi kedua matanya mengekori pemuda yang sedang memesan pesanannya di kasir.

"Bersikap seperti kau tak pernah mengenalnya, Kim Jena," gumam Jena pada dirinya sendiri.

Taehyung meninggalkan ponselnya di atas meja, dan ponsel itu sedari tadi berdenting karena adanya pesan yang masuk.

Jena yang sudah tak tahan dengan bunyi bising itu pun sedikit menengok ke arah ponsel tersebut, sebelum akhirnya ujung matanya mendapatkan Taehyung yang sedang berjalan kembali ke meja mereka dengan membawa buzzer bertuliskan nomor antriannya.

Melihat pemuda itu berjalan ke arahnya, Jena langsung mengalihkan pandangannya, menurunkan tangan dan menghentikan goyangan kakinya.

"Maaf membuatmu menunggu," ucap Taehyung ramah sambil tersenyum.

Rupanya ia sedang dalam mood yang baik hari ini. batin Jena.

"Tak apa. Tapi sebenarnya kau ini siapa? Maksudku bagaimana kau mengenal Sena?"

Jena berusaha bertanya senormal mungkin.

"Wah, ia benar-benar tak cerita apapun padamu?"

Jena menggeleng pelan.

Berpura-pura seperti ini ternyata lebih sulit dari apa yang dibayangkan Jena.

"Aku tunangannya," ucap Taehyung dengan nada bangga.

"Wah, jadi ia sudah bertunangan?"

Untung saja kemampuan akting Jena memang tak begitu buruk.

"Hei, kau kan saudaranya, bahkan kembarannya. Apa Seokjin tak memberi tahumu?"

Jena hanya terkekeh pelan, padahal di dalam sana, ia berharap pemuda di depannya segera pergi meningalkannya.

"Memang kami sudah jarang menghubungi satu sama lain karena perbedaan waktu yang lama," ucap Jena setelah berhasil menemukan alasan yang dikiranya cocok.

Taehyung mengangguk mengerti. Ia hendak menolehkan kepalanya ke arah lain sebelum tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Aku baru ingat. Bukannya kita pernah bertemu saat aku berkunjung ke rumahmu?"

Skakmat.

Buzzer yang di pegang Taehyung tiba-tiba bergetar, menandakan bahwa pesanan mereka sudah dapat di ambil.

"Biar aku saja," tukas Jena cepat.

Jena kemudian mengambil benda kecil tersebut dari tangan Taehyung dan pergi menuju kasir.

Setelah kembali dengan nampan berisi makanan, Jena kemudian kembali duduk di sebrang Taehyung.

Seakan lupa dengan pertanyaan yang ia lontarkan tadi, Taehyung tak meminta jawaban dari gadis itu.

Jena menghembuskan napas lega.

"Jadi, ada urusan apa kau ke sini, Taehyung-ssi?"

"Ada yang harus aku urus. Kakakmu juga datang, apa kau belum menemuinya?"

Jena menggeleng pelan.

Berapa kali lagi ia harus berbohong untuk hari ini?

Taehyung hanya mengangguk mengerti.

Hari ini pemuda itu terlihat jauh berbeda dari apa yang Jena kenal saat ia menjadi Sena.

Ia lebih bersahabat.

Jena ingat sekali bagaimana sikap aneh dari pemuda bernama Kim Taehyung itu. Mengingatnya saja dapat membuat seluruh tubuh Jena bergidik.

"Jena-ssi, apa kau ingin membantuku? Maksudku aku tak punya teman wanita yang dapat membantuku, lagipula kau kan saudara Sena."

Membantunya? Apa ini semua ada kaitannya dengan Sena? batin Jena bertanya-tanya.

Jena mengerutkan keningnya dan mendekatka telinganya ke arah Taehyung. Berusaha mendengar pernyataan pria itu selanjutnya dengan jelas.

"Aku ingin melamarnya bulan depan."

Autumn White Lies ●

Malam ini Jena memutuskan untuk tak menyalakan penghangat ruangan.

Suhu di luar sudah mencapai tiga derajat celcius, tetapi perempuan itu masih bergelayut dengan pikirannya di balkon apartemen yang untungnya memiliki atap yang mampu menahan salju yang turun.

Salju semakin menebal, dinginnya udara juga semakin menusuk ke dalam kulit, membuat siapapun yang ke pergi berkeliaran saat ini harus memakai mantel tebal.

Berbeda dengan Jena, ia hanya duduk di keramik dingin balkon dengan berbalut piyama dan selimut tipis yang dahulunya merupakan milik Jungkook.

Ia juga menyeduh cokelat panas dan ia letakkan di sampingnya. Tetapi, gadis itu tak menyentuhnya sedikit pun.

Aku akan melamarnya bulan depan.

Kalimat itu berputar-putar di kepalanya.

Sejujurnya, di lubuk hatinya ia merasa ada yang janggal dengan kalimat yang dengan mudahnya meluncur dari pria itu.

Mengapa begitu cepat? Bukannya ia tak begitu menyetujui perjodohan ini? batin Jena bertanya-tanya.

Ia menghembuskan napas pelan, mengeluarkan gembulan asap tebal.

Bukan hanya itu yang ada di pikirannya saat ini.

Ini tentang kotak yang Jungkook berikan padanya.

Harus ia akui, Jungkook memang pria penuh kejutan.

Kotak pertama berukuran besar yang ia buka isinya tak begitu membuatnya terkejut. Hanya puluhan memori card lama miliknya dan beberapa album foto besar yang berisi karya-karya milik Jungkook.

Kotak kedua yang berukuran besar lainnya berisi laptop dan jaket kulit yang sedari dahulu Jungkook gunakan. Jena sudah mencari itu kemana-mana dan ia pikir itu sudah hilang entah kemana.

Kotak terakhir adalah salah satu alasan mengapa ia memilih untuk merenung dan meringkuk di balik selimut tipis pada balkon saat ini.

Isinya adalah sebuah dress selutut berwarna biru terang yang merupakan warna kesukaan Jena, dihiasi beberapa mutiara di bagian bawahnya.

Dan, di atas dress itu terdapat sebuah kertas tebal yang di tulis menggunakan kaligrafi.

Jena benar-benar tak ingin memikirkan apa yang tertera di kertas itu. Tetapi kenyataan berkata lain.

Jungkook bukan hanya sekedar memori untuknya. Ia segalanya.

.
.
.
.

Find yourself a new happiness.
Find your true prince charming.
I'm really not here anymore,
so please just think of me as memories.

-All the love, Jungkook.

.
.
.
.

Hai semua!
Aku mau blg kalo cerita ini itu updatenya setiap hari weekend.
Either its friday, saturday, or sunday.

Thank you for your vote and comments!
Enjoy reading!
-Berryl

AUTUMN WHITE LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang