Clarity

7.9K 1K 44
                                    

Setiap tahun, ibunya akan membuat kue ulang tahun spesial yang sangat Taehyung dan adik-adiknya sukai saat ulang tahun pemuda itu. Tetapi ia tak bisa mencicipi kue coklat yang ditutupi oleh strawberry tersebut karena ia sedang berada di New York saat ini.

Tanpa berpikir apapun lagi, ia dengan cepat memasukan beberapa pakaiannya ke dalam koper kecil dan pergi ke bandara sambil mengenggam kuat-kuat tiket pesawat dan paspor di tangannya setelah Jimin berkata demikian.

Ia membenci dirinya sendiri karena telah melepaskan sesuatu yang sangat amat ia cintai. Tetapi menurutnya ini adalah kesempatannya, kesempatan kedua baginya.

Selagi menunggu bagasi, Taehyung mengaktifkan ponsel khusus yang ia gunakan di New York yang entah sudah berapa lama tak ia nyalakan.

Notifikasi bermunculan satu persatu dan menyerbunya tanpa henti.

Ia tak memerdulikan notifikasi yang terlampau banyak itu dan saat kopernya muncul, ia langsung mengambil koper tersebut dan pergi ke rumah sakit.

Autumn White Lies •

"May i ask for your identi-"

"Taehyung?"

Dengan cepat Taehyung memutar kepalanya dan menemukan Seokjin sedang berdiri sambil menenteng tas kerjanya.

"Hyung."

Jin segera berjalan mendekat ke arah sang suster yang hendak meminta identitas Taehyung dan memberitahunya bahwa ia mengenal Taehyung.

Mereka kemudian berjalan beriringan menuju ke kamar inap Jena dalam diam.

"Bagaimana keadaannya?"

Jin melirik Taehyung dari ujung matanya, kemudian tersenyum tipis.

"Kau akan menyesal, Tae."

Seokjin mempercepat langkahnya, kemudian berhenti di sebuah pintu berwarna biru tua yang bertuliskan 'VIP' di depannya.

Jin membuka pintu tersebut dan mempersilahkan Taehyung masuk terlebih dahulu.

Keringat dingin dan udara sejuk rumah sakit membuat Taehyung gugup setengah mati. Bahkan menurutnya ini lebih menegangkan daripada saat ia melaksanakan sidang untuk skripsinya saat kuliah dahulu.

Taehyung menegak ludahnya kasar, kemudian memberanikan langkahnya memasuki ruangan serba putih tersebut.

Yang kedua matanya tangkap pertama kali saat memasuki ruangan tersebut adalah hening, tenang, dan suram. Dengan ruangan yang serba putih, ruang tersebut terasa sangat suram bagi Taehyung.

Kamar rumah sakit juga selalu mengingatkannya akan kenangan pahit di Prancis. Itu bukan sepenuhnya kenangan pahit, tetapi tetap saja.

Terdengar decitan suara pintu ditutup saat Taehyung berjarak tiga langkah dari ranjang pasien.

"Jena," panggilnya selembut mungkin.

"Ia sedang terlelap." Itu Seokjin.

Taehyung menelan ludahnya kasar sekali lagi, kemudian mengelus permukaan wajah Jena yang pucat.

"Tiga hari yang lalu, ia sedang membantu sebuah komunitas kanker untuk menyiapkan acara bulanan di bawah, beberapa balon pecah bersamaan dan membuat jantungnya semakin melemah dan ia diharuskan istirahat sedikit-dikitnya duabelas jam."

Seokjin menarik sebuah bangku mendekat ke arah Taehyung, mengisyaratkan agar Taehyung duduk dan bersikap tenang.

Jin menepuk bahu Taehyung, "Aku akan segera menjual sahamku di perusahaanmu."

Taehyung menatap Seokjin binggung sepersekian detik kemudian.

Jin terkekeh pelan, memang terkesan ramah, tetapi itu terdengar seperti sindiran halus baginya.

"Aku tak gila harta, Tae." Jin masih tersenyum, "Sebagian uang yang tadinya akan kau sumbangkan ke perusahaan keluargaku rencananya akan kugunakan sebagai biaya pengobatan Jena."

"Tetapi kau membatalkannya. Terlebih lagi aku harus membayar penalti darimu."

Taehyung mengacak rambutnya frustasi.

Jin menepuk bahu Taehyung beberapa kali.

"Aku harap kau tak ikut campur dalam hal biaya. Ini urusanku dan keluargaku, jadi tolong jangan ikut campur demi kebaikan Jena," ucap Jin seakan tahu apa yang akan Taehyung lakukan nantinya.

Benar. Taehyung menyesal.

Ia pernah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tak pernah melewatkan ulang tahunnya di rumah, tetapi kali ini ia bahkan tak memikirkan itu sama sekali. Yang ada di pikirannya hanyalah perempuan yang terbaring lemah di depannya.

"Jagalah ia sebentar, aku akan membeli camilan untuk kita berdua."

Jin menaruh tas kerjanya di sofa ujung ruangan, kemudian ke luar dari kamar tersebut.

Sekarang, hanya ada Taehyung dan Jena yang sedang memejamkan matanya dengan wajah setenang air kolam.

Taehyung mengangkat tangan kanannya, kemudian meraih tangan Jena lalu mengenggamnya lembut.

Ia menenggelamkan wajahnya pada tautan tangan mereka.

Memori akan perbuatannya malam itu kembali berputar di dalam kepalanya. Membuatnya seperti orang paling bersalah di dunia ini sekarang.

Perlahan, air matanya jatuh dan membasahi pipi serta tangan mereka.

"Jangan menangis, kau terlihat menyedihkan."

Thank you for all of your support!!! ❤️❤️❤️
-Berryl

AUTUMN WHITE LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang