Mistake

9.5K 1.2K 34
                                    

Taehyung melesat melalui beberapa kariyawan yang menyapanya sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa bosnya tersebut memiliki penampilan yang jauh dari kata formal.

Taehyung masih mengenakan pakaian yang sama sedari tadi pagi, yaitu kaos putih polos, coat panjang, celana hitam longgar, dan juga slipper Gucci-nya.

Jangan lupakan warna rambutnya yang juga belum berubah.

Taehyung masuk ke dalam ruangan pribadinya dan menemukan Jimin yang sedang berdiri memunggunginya.

"Ah akhirnya kau dat- YA RAMBUTMU KENAPA?!"

Taehyung menepuk bagian belakang kepala Jimin. Rasanya gendang telinga Taehyung hampir pecah saat mendengar teriakan melengking dari Jimin.

"Dakcho!" (Diam!)

"Tae-ya, rambutmu. Hahaha... " Jimin tertawa terpingkal-pingkal seperti tak takut bila bosnya itu tak membayar gaji bulanannya, apalagi memecatnya.

"Redakan tawamu atau ku pecat kau dari sini," ancam Taehyung.

Ancamannya tak berhasil.

"Aku tahu kita teman dekat sedari dulu, tapi aku tak segan-segan memecatmu bila kau terus melanjutkan pembullyan mu ini."

Taehyung berdecak kesal saat melihat Jimin masih menertawai rambut Taehyung.

"Terserah kau," kesal Taehyung.

"Ada file yang harus ku tanda tangani?" ucap Taehyung selagi melangkah mendekati mejanya.

Tawa Jimin mulai mereda, tapi senyum mengejek belum hilang dari wajah imutnya tersebut.

"Eobseo..." Jimin menggelengkan kepalanya, "...geundae, di mana kau mem-bleach rambutmu?"

Taehyung melemparkan penanya yang tergeletak di atas meja mengarah ke Jimin.

"Mati saja kau Park Jimin!"

Autumn White Lies ●

Sudah berkali-kali Seokjin meneriakan nama Jena untuk turun dan makan malam bersama dengannya dan juga ibunya dari lantai bawah.

Geram dengan adiknya tersebut yang tak kunjung keluar dari ruangannya, ia pun menghampiri gadis itu.

Tangannya menekan gagang pintu lalu mendorongnya cepat.

Hampir saja ia berteriak sekali lagi, sebelum melihat adiknya tersebut sedang menggunakan headphone sambil melukis.

"Ah pantas saja..."

Seokjin melenguh panjang.

Kemudian ia melangkahkan kakinya ke arah gadis itu, dan menepuk bahunya singkat.

Jena merespon Seokjin dengan membuka sedikit headphone yang ia kenakan.

"Ayo makan."

"Aku tak berselera."

"Jangan hanya karena kau ingin melukis, kau lupa dengan kesehatanmu sendiri."

Jena menangguk, "Tapi aku benar-benar tidak ingin makan saat ini."

Seokjin heran melihat dan juga mendengar nada adiknya yang tak bersemangat tersebut.

"Ada masalah?"

Jena menggeleng, lalu menurunkan headphonenya ke leher dan memasukan kuas catnya ke dalam gelas berisi air.

"Tapi tingkah dan wajahmu mengatakan sebaliknya."

"Aku benar-benar tak apa, oppa."

Seokjin membuang nafasnya pelan, "Yasudah, kalau begitu aku makan dulu ya."

Jena mengangguk lalu melihat Seokjin yang berjalan keluar dari kamarnya lalu hilang di balik pintu.

Ah, untung Seokjin tidak melihat sketsa tipis yang terdapat dalam kanvas yang sedang ia cat.

Bila ia melihatnya, otomatis Jena harus menceritakan semuanya, dan Jena belum siap.

Jena hendak kembali mengarahkan kepalanya pada lukisannya tersebut, sebelum matanya terlebih dulu terfokus pada benda kecil yang terletak di atas meja belajarnya.

● Autumn White Lies ●

Seokjin baru saja selesai makan dan meletakkan piring ia dan ibunya di dapur.

Ia hendak melangkahkan kakinya keluar sebelum ponselnya berdering dari dalam kantung celananya.

Setelah melihat caller id yang nampak di layar, perasaannya berubah sekejap.

Jangan lagi.

"Seokjin-ssi?"

"Iya ini aku, ada apa kau menelponku malam-malam begini?" tanya Seokjin sambil berusaha berbicara senormal mungkin.

"Aku tadi bertemu Jena," ucap orang di seberang sana.

Seokjin menegang di tempat.

"Kau memberitahunya?" tanya Seokjin sambil berusaha meredam amarahnya.

Sebelum pria itu dapat menjawab, Seokjin sudah kembali berbicara.

"Wonwoo-ssi!"

"Ia harus mengetahui fakta itu, hyung!" balas Wonwoo cepat.

Seokjin memegang kepalanya yang terasa berat secara tiba-tiba.

"Temanilah ia ke New York, dan beri kotak itu," ucap Wonwoo.

"Tidak," balas Seokjin.

Wonwoo berdecak kesal, "Ini sudah terlalu lama, aku juga sudah memberinya kunci i-"

"Wonwoo-ssi, apa kau sudah kehilangan akal sehat mu?"

Wonwoo diam sesaat kemudian.

Keheningan sempat memakan mereka beberapa saat sebelum akhirnya Seokjin kembali berbicara.

"Wonwoo-ya, apa kau tahu mengapa aku tak pernah mengijinkannya untuk melihat makam jungkook lagi?"

Wonwoo menggeleng, walaupun ia tahu bahwa Seokjin tak dapat melihatnya saat ini.

"Dua hari setelah pemakaman Jungkook, ia sempat koma selama seminggu."

Seokjin menggigit bibir bawahnya dan kembali mengeluarkan suaranya yang membuat Wonwoo merasa menjadi orang terjahat di dunia saat ini

"Dan bila itu terjadi satu kali lagi, ia tak akan bisa diselamatkan."



Hai semua!!
Sorry karena late update :((

What do you think about this chapter??

Thank you for your vote and comments!
Enjoy reading!
-Berryl

AUTUMN WHITE LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang