"Apa?!"
Sena mengangguk cepat.
Saat ini ia sedang berada di toilet dalam kafe milik sahabatnya tersebut.
Bukan untuk membuang air kecil atau besar, ia baru saja kabur dari pria bernama Kim Taehyung itu untuk menelpon kembarannya.
"Bagaimana ini, Jen?" tanya Sena panik.
Jena terdengar menghembuskan napas di seberang sana.
"Atasi saja sendiri, itu kan tunanganmu."
"Hey! Mana bisa begitu?!"
Jena berdecak kesal, "Lalu aku bisa bantu apa? Pergi ke cafe itu dan malah merusak semuanya?!"
Seakan ingin membuat suasana menajadi lebih tegang, entah memang disengaja atau tubuh Sena yang sudah mulai tak sehat, perempuan itu merasa udara di dalam toilet semakin dingin.
Keringat dingin sudah menjalar ke seluruh tubuh Sena saat ini. Jantungnya berdegup dengan kencang.
Sena bersumpah akan kencing di roknya saat ini juga karena ia benar-benar takut ke luar sana dan berhadapan dengan pemuda itu.
"Temui saja dia. Bertingkahlah senormal mungkin," ucap Jena akhirnya.
Jena kemudian memutuskan sambungan ponsel tersebut.
Sena kemudian menyumpahi Jena berkali-kali, sambil memasukan ponselnya ke dalam tasnya kembali.
Ia lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu memakaikannya ke jemarinya.
"Semoga ia percaya."
• Autumn White Lies •
"Warna rambut barumu bagus nona."
Jena terkekeh pelan, "Ah, terima kasih pak."
Ia baru saja selesai mengecat rambutnya dengan warna coklat muda.
"Ada tujuan lain lagi sebelum kita pulang?"
Jena menggeleng pelan.
Ia harus membereskan barang-barangnya yang masih berantakan sejak ia pulang dari New York.
Belum lagi dengan Hanna yang memintanya bertemu esok pagi, padahal seminggu yang lalu ia sudah bertemu dengan perempuan itu.
Hanna berkata bahwa ada sesuatu yang harus ia sampaikan selagi ia kembali ke Korea.
Selama seminggu penuh, ia terus menjaga Sena. Ia butuh lebih dari istirahat saat ini.
Saat melintasi rumah sakit, Jena teringat akan pesan Namjoon padanya seminggu yang lalu.
Kemudian ia merogoh kantung jaketnya lalu mengambil ponselnya tersebut.
Kemarin, ia membeli nomor ponsel baru agar Taehyung tak menghubunginya lagi. Lagipula, Sena sudah sadar dan semua akan kembali normal lagi bukan?
"Namjoon oppa!"
"Ah, Jena-ya. Kau sudah di Korea?"
Jena mengangguk, "Ya. Sebenarnya aku sudah di sini sejak seminggu lalu, tapi aku lupa memberti tahumu."
Namjoon berdecak lumayan kencang, seperti kesal akan apa yang baru saja Jena lontarkan.
Apa aku berbuat salah? batin Jena sedikit takut.
Kenyataannya, ia jarang, bahkan tak pernah melihat Namjoon marah.
"Sudah ku katakan untuk menghubungiku langsung, tetapi kau tak mendengarkanku! Ke rumah sakit saat ini juga!" ucap Namjoon penuh penekanan dan seperti berusaha meredam amarahnya.
Jena membulatkan matanya setelah mendengar ucapan Namjoon barusan. "Y-ya, aku akan segera ke sana."
Namjoon kemudian memutuskan panggilan tersebut tanpa ucapan perpisahan.
Jena mencondongkan tubuhnya ke kursi pengemudi, lalu menepuk bahu supirnya tersebut.
"Pak, boleh antarkan aku ke rumah sakit di mana Namjoon bekerja?"
Supirnya mengangguk. Jelas ia tahu siapa Namjoon itu.
Jena kembali menempelkan punggungnya ke kursi mobil.
Jena bersumpah ia akan pura-pura menangis di depan Namjoon bila pria itu membentaknya saat mereka bertemu nanti.
Karena nyatanya, pria itu sama galaknya dengan ibunya saat ia marah.
Hai guys!!
Sorry for short chap :(Thank you for your vote and comments!
Enjoy reading!
-Berryl
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTUMN WHITE LIES
FanfictionSaat musim gugur, semua orang mempunyai kisahnya masing-masing. Begitu pula dengan Jena, yang kisahnya entah berakhir bahagia atau bahkan terlupakan. ©seoulatnight 2017