Tigapuluh Sembilan

97.9K 5.4K 260
                                    

Semua anggota berdiam diri di kamar. Kecuali Haris yang kini menatap dingin Aldi dan Vero. Suasana di ruang keluarga ini sungguh nggak bisa. Jarang Haris bersikap dingin.

Haris menatap Vero dan Aldi secara bergantian. "Kalian itu udah dewasa! Harus berpikir yang bener! Jangan kayak bocah!"

Tatapan Haris kini beralih ke anak sulungnya. "Kamu lagi! Dikit-dikit nonjok! Mikir pake otak, jangan emosi doang yang digedein!"

Aldi memainkan kedua tangannya di atas meja, tatapannya kosong. Cowok itu menarik napasnya perlahan. "Aku emosi karna dianya yang gitu, Pah. Dia cowok kan? Kalo cowok pasti mikir gimana caranya gak nyakitin hati cewek, ini malah kebalik, dan fatalnya sampe ilangin pekerjaan orang."

Vero menatap Aldi. "Lo bisa ngomong gitu, Al! Tapi lo gak tau gimana kondisi waktu itu!"

"Kondisi apa, hah?!" Aldi berdiri, menggebrak meja. "Terus lo nyalahin kondisi waktu itu? Gak ada hubungannya, man!"

Vero ikut berdiri. "LO GAK TAU APA-APA! JELAS ITU ADA HUBUNGANNYA!"

Haris menghela napas kasar. "STOP!"

Mendengar bentakan Haris, keduanya duduk kembali. Aldi merasa nggak enak terharap Papanya, begitupun Vero. Baru kali ini ia melihat Omnya dingin terhadapnya.

"Papa ini laki-laki. Pernah muda juga. Pernah ngalamin masalah cinta. Pernah kejadian kayak kalian berdua."
Haris mengatur ritme napasnya, lalu melanjutkan. "Kalo kalian cowok gentle, saingan dengan cara yang sehat. Jangan sampe tali persaudaraan kalian hancur karna cewek. Kalian ini sepupu loh."

Keduanya hanya mengangguk, satu sama lain menatap dengan tatapan yang nggak bisa diartikan.

Haru melirik Vero. "Kamu sekarang telpon Vella. Terus bawa dia kesini."

Vero tersenyum, mengiyakan.

"L-loh, kok Vero sih, Pah? Aku aja." Aldi menatap Haris dengan tampang memelas.

Haris mengernyitkan alisnya. "Emang kamu tau rumahnya Vella?"

Aldi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nggak."

Vero melirik Aldi dengan tatapan menjengkelkannya lalu menjulurkan lidah. Melihat itu, Aldi kesal, ia mengacungkan tangannya yang telah dikepal kuat-kuat.

Vero mengeluarkan ponselnya, mencari kontak Vella lalu meneleponnya.

"Hallo Vella, punyanya Vero selamanya sampe maut memisahkan. Eh nggak deng, maut pun gak bisa memisahkan kita." Vero cengengesan ketika nomor teleponnya telah menyambung ke nomor telepon Vella.

"Hallo? Dih kok lebay banget? Gak kayak biasanya." Vella yang di sebrang sana ikut terkekeh.

Lagi-lagi Vero melirik Aldi dengan tatapan jahilnya.

"Ya gapapa dong, lebay karna kamu, aku teh rela."

Vella terdiam sebentar. "Najong. Aku gak suka sama cowok yang lebay." ucapnya malu-malu.

Vero menyalakan speaker, ponselnya sedikit dijauhkan dari telinga. "Apa-apa, coba ulang?"

Vella terkekeh. "Ih apaan sih. Kan tadi aku udah bilang."

"Tapi tadi budeg aku lagi kumat. Ulang dong."

Terdengar bahwa Vella sedang menghela napasnya. "Aku gak suka sama kamu! Tuh udah." Sedetik kemudian ia kembali tertawa kecil.

"Jahat ya."

"Ih! Tadi itu aku bilang kalo aku suka sama kamu! Puas?"

Krik.

Bendahara & Ketua Kelas [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang