Part 52

6.7K 468 59
                                        

Seruan penuh kegembiraan itu terdengar di seluruh penjuru gedung tersebut. Seakan memberi tahu pada siapapun bahwa saat ini tengah terjadi sebuah kegembiraan di tengah-tengah mereka.

Bagaimana tidak, jika saat ini saja sedang tergelar sebuah pernikahan salah satu pengusaha berpengaruh di negara tersebut. Lihat saja para wartawan yang bercecer di luar gedung ini, mencegah salah satu undangan untuk di wawancarai, sekedar untuk mendapatkan sedikit informasi tentang pernikahan megah sang pengusaha terpandang tersebut.

Jika para tamu undangan bersusah payah untuk menghindari para wartawan, berbeda dengan salah satu pria yang berjalan begitu santai tanpa perlu bersusah payah menghindar dari para wartawan, dia tidak peduli akan kilatan blitz yang mulai mencecarnya saat ia baru saja menginjakan kakinya keluar dari mobil.

Bagaimana tidak, jika baru saja ia menampakan kakinya, para pengawalnya mulai membentuk sebuah perlindungan, sekedar untuk melindungi sang tuan, dari lintah darat semacam wartawan.

Pria itu sudah terlalu kebal akan hal-hal seperti ini semenjak hari itu. Dia sudah mempersiapkan semuanya saat tahu bahwa dirinya diundang pada acara semacam ini ataupun datang pada acara-acara yang sekiranya akan mengundang para wartawan.

"MR. NEIL ANDERSON!!" Seorang wartawan berteriak dengan kencang saat melihat pria itu.

Benar, Neil Anderson. Pria yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat itu selalu menjadi pembicaraan hangat para media, di koran, majalah bisnis maupun televisi. Seakan-akan setiap hal yang dia lakukan adalah hal yang patut untuk di perbincangkan di negeri ini.

Tapi Neil kembali bersikap tidak peduli, jikapun ada hal yang akan dapat menganggu bisnisnya maka adiknya -- Peter lah yang akan menangani semuanya. Iya, remaja itu kini berubah menjadi seorang pembisnis yang hampir menyamai dirinya dan ayahnya sendiri.

"Wah nampaknya banyak wartawan yang mengejar anda Mr. Anderson."

"Seperti yang kau lihat."

"By the way, semoga anda menikmati pestanya tuan." Ujar pria itu yang memang tugasnya adalah menyambut para tamu.

Tanpa membalas perkataan pria tersebut, Neil segera berlalu dari sana entah menuju kemana, tapi kakinya membuatnya bergerak mendekat ke arah bar yang tampaknya memang sengaja di buat untuk membuat para undangan lebih nyaman. Selain karena dia tidak ingin bersapa pada siapa saja rekan bisnisnya yang memang juga hadir di pesta pernikahan ini, dia rasa hanya tempat ini yang cocok dengannya.

Dia juga tidak sedang dalam mood yang baik untuk sekedar mendengar basa-basi para penjilat.

Kini apa kalian dapat melihat perubahan pada diri seorang Neil Anderson? Benar, dia bukan lagi pria yang sama semenjak lima tahun yang lalu. Kini dia berubah menjadi seorang pria yang lebih dingin, kini tidak ada lagi senyum ceria diwajah tampan itu, ataupun setidaknya senyum kebohongan untuk menutupi rasa sakitnya, seakan-akan pria itu tidak ingin bersandiwara hanya untuk menutupi rasa sakitnya.

Bukan berarti kini Neil Anderson tampak lemah, tapi pria itu seakan telah membuat benteng untuk melindungi dirinya agar tidak ada lagi yang dapat menyakiti dirinya. Tidak musuhnya, tidak juga keluarganya sendiri. Jadi kalian salah jika menganggap kini pria itu kalah karena memiliki kelemahan, malah sebaliknya, pria itu semakin kuat karena telah kehilangan kelemahannya.

Kelemahan yang ia rindukan, sangat ia rindukan. Sebuah rindu yang terkadang tanpa orang ketahui membuatnya tersiksa seorang diri. Sebuah rindu yang menyakiti dirinya sendiri.

"Hai." Sapa seseorang pada Neil yang tengah asik menyesap minumannya.

Benar, semenjak hari itu hanya minuman keras yang menjadi teman setianya.

Neil menoleh mendapati seorang wanita berpakaian minim dengan segelas anggur di tangannya. Wanita itu berjalan mendekat tidak mempedulikan tatapan atau sikap dingin yang pria itu berikan.

"Sendiri saja?" Tanya wanita itu masih berusaha untuk mendapati perhatian Neil.

"Kurasa penglihatanmu tidak baik."

"Maksudmu?" Tanya wanita itu bingung akan ucapan Neil.

"Jika penglihatanmu baik, maka kau tidak akan bertanya." Balas Neil begitu sarkastik tanpa perlu menoleh pada wanita tersebut.

Neil sempat mendengar wanita itu tersedak yang berusaha ia tutupi. Mungkin wanita itu tersinggung?

Entahlah.

"Kau terlihat tidak menikmati acaranya." Ujar wanita itu lagi, masih berusaha mendapatkan perhatian Neil yang sia-sia.

"Tidak ada yang pernah benar-benar kunikmati." Wanita itu sempat terkejut saat mendengar balasan dari Neil, karena ia pikir Neil akan kembali menjawabnya dengan begitu dingin.

"Kenapa?"

"Karena hal itu telah terampas." Jawab Neil kembali seakan-akan dia tengah berbicara dengan dirinya sendiri.

"Apa itu sangat penting untukmu?" Tanya wanita itu kembali.

"Apa aku berhak menjawab pertanyaan tidak bermutumu?" Neil kembali membalas pertanyaan wanita tersebut dengan sikap dinginnya. Sepertinya pria itu baru saja tersadar dari segala pemikirannya yang sejenak melayang entah kemana hanya karena satu pertanyaan yang entah bagaimama memancing pemikirannya untuk melayang ke arah lain.

Ke arah yang bahkan tidak ia harapkan untuk ia pikirkan di saat-saat seperti ini.

"Mau membuat malam ini menjadi menarik." Inilah yang Neil tunggu, disaat dimana pada akhirnya wanita itu meluncurkan aksinya.

"Tidak." Jawab Neil dengan singkat tanpa mempedulikan bagaimana perasaan wanita itu yang merasa bahwa harga dirinya telah di rendahkan karena satu tolakan singkat Neil.

Dengan perlahan wanita itu menjauh dari Neil, entah merasa malu karena tolakan Neil atau hal lain, Neil tidak peduli.

Dirasa sudah terlalu lama berada di pesta tersebut, Neil berlalu dari sana, tidak lupa dua pria bertubuh besar yang kembali mengkorinya.

Diam termenung di dalam mobil, menatap ke arah luar jendela, seakan ia tengah menikmati dunia luar. Padahal siapapun tahu, pria itu tersiksa di dalam. Pria itu sakit, sebuah rasa sakit yang tak akan dapat diobati oleh obat apapun.

Hingga dering telphonenya mengacaukan apapun yang tengah pria itu pikirkan. Dengan tidak peduli, Neil mengangkat panggilan tersebut, tanpa mengucapkan satu patah katapun, seakan menunggu orang di seberang sanalah yang harusnya memulai percakapan.

"Tuan, Mr.Brown baru saja kembali dan sekarang dia berada di kantornya." Ucapan itu berhasil membuat Neil menahan nafasnya seketika, menetralisir keterkejutan yang baru saja ia dapatkan.

Revan. Pria yang selama ini selalu ingin ia temui, sekedar untuk bertanya pertayaaan yang sama dan ia yakin, ia akan mendapatkan jawaban yang sama selama lima tahun terakhir.

"Putar arah, kita ke kantor Revan." Perintah Neil pada supir pribadinya yang segera dijawab dengan cepat.

Neil benar-benar tidak sabar untuk bertemu pria itu. Dia tidak akan menyerah begitu saja meski ia tahu jawaban apa yang akan diberikan pria itu padanya. Meski Neil tahu setiap jawaban yang terlontar akan kembali menyakiti dirinya sendiri. Dia tidak akan menyerah.

TO BE CONTINUED

#Vomment please

Sorry typo

Masih amatir

Me And You Both Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang