"Kenapa juga masih ada anak osis di depan gerbang sih." sungut Letta kesal karena setibanya ia dan Alex di sekolah ternyata masih ada anak osis di depan gerbang. Padahal waktu sudah menunjukan jam setengah delapan yang mana biasanya gerbang itu sudah tidak ada yang jaga karena semua anak dan guru sibuk dengan kegiatan belajar mengajar.
"Ya udah tinggal hadepin aja, apa susahnya." timpal Alex santai.
"Gue males kalau harus diberi hukuman. Lo belum tahu sih kalau anak osis itu ngasih hukumannya gak cuma-cuma."
Memang begitu di sekolahnya, anak-anak lebih suka kalau harus berhadapan dengan guru piket daripada dengan anak osis. Kalau guru piket paling hukumannya hanya menyapu halaman sekolah. Tapi kalau anak osis terlalu ribet, harus bersihin wc, mengepel koridor kelas, dan juga bersihin tempat praktek olahraga. Intinya, osis itu ngeselin.
Dan sekarang Letta harus menyayangkan karena gerbang sekolah malah dijaga oleh anak osis. Seingatnya tadi saat sampai sekolah sebelum kembali lagi menyusul Alex, yang akan menjaga gerbang adalah guru piket dan bukan osis. Ya mungkin, mereka tukeran, pikir Letta sih begitu.
"Emangnya lo mau berdiri terus di sini sampai bel pulang?" kata Alex geram. Ia sendiri berdiri dengan kedua tangan memegangi kemudi sepeda.
"Ya enggaklah. Coba aja tadi gue gak harus balik nyusul lo, gue gak bakalan telat kayak gini. Seumur umur gue sekolah gue belum pernah tel--"
Belum sempat Letta menyelesaikan ucapannya, bibirnya malah ditarik oleh tangan Alex. Letta reflek langsung menepis tangan Alex dan memandangnya berang.
"Berisik. Udah tinggal jalan aja gak usah kebanyakan ceramah." kata Alex.
Letta hanya memanyunkan bibirnya ke depan beberapa senti. Padahal ia kira bakalan baikan barang sebentar dengan Alex tapi nyatanya tidak bisa karena cowok yang satu ini selalu saja berhasil membuat orang lain kesal.
"Nih, lo yang bawa." Alex menyodorkan sepeda tua Sari pada Letta.
Letta yang tak mau ada perdebatan panjang seperti tadi pagi segera mengambil alih dengan kasar. Ia menghentakkan kakinya menuju gerbang, diikuti oleh Alex yang terkikik geli melihat Letta yang kesal karena dirinya.
"Wah wah wah, bagus yah jam segini baru berangkat. Kamu kira sekolah ini milik nenek moyang kamu apa, seenaknya berangkat gak tahu aturan?!" semprot anak osis itu begitu melihat kedatangan Letta di depan gerbang.
"Kalau iya kenapa, sekolah ini punya nenek moyang gue. Mau apa lo?" balas Letta tak kalah sengit.
Tak tahu saja kalau Letta tadi sedang kesal dengan Alex, malah ditambah anak osis di depannya ini juga cari masalah. Sialan, masa bodoh deh. Ia sudah kepalang marah sama Alex jadi lampiaskan saja sekalian ke anak osis ini.
"Kamu yah, dibilangin bener-bener malah ngejawab?!"
"Apa?! Lo kira mentang-mentang anak osis jadi bebas gitu nginjak anak lain?!"
"Kamu?!" anak osis itu mengacungkan telunjuknya ke muka Letta. Muka anak osis itu sendiri sudah merah padam menahan emosi, sama seperti Letta.
Alex yang mendengarkan interaksi tidak wajar dari dua orang cewek itu hanya bisa geleng kepala, telinganya bahkan berdengung karena keduanya sama-sama menunjukan taringnya. Tidak ada satupun yang mau mengalah. Yang anak osis harusnya juga menasehati dengan baik bukannya dengan membentak, sedangkan Letta juga harusnya tidak ikut-ikutan tersulut emosinya.
"Apa?! Gak terima?! Emang bener kan anak osis itu--" ucapan Letta terhenti tiba-tiba karena anak osis itu sudah membuka gerbang dengan kasar dan mengangkat tangannya tepat di depan Letta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mischievous Boy
Teen FictionHanya karena selembar kertas DO dari sekolahnya, hidup seorang Alex menjadi berubah 180 derajat. Yang biasanya dimanjakan dengan kekayaan orang tuanya di kota, harus rela dipindahkan ayahnya ke desa tempat neneknya tinggal tanpa membawa apapun. Dan...