Part 44

1K 77 1
                                    

Lagi dan lagi Alex merasa kepalanya sakit seakan sesuatu baru saja menghantam kepalanya dengan keras. Sialan, ini pasti gara-gara ia terlalu banyak pikiran. Bagaimana tidak, dalam waktu semalam ia berubah menjadi sosok ayah, belum lagi kabar kalau Mona yang sakit dan itu beresiko buat kehamilannya. Alex sempat memberi pilihan untuk Mona agar merelakan bayinya tapi Mona menolak dengan tegas dan akan tetap mempertahankan bayinya sampai akhir. Mona bahkan sempat marah karena bisa-bisanya Alex menyuruhnya seperti itu.

Belum lagi masalah soal perasaannya ke Letta. Haruskah ia mengorbankan perasaannya? Haruskah ia membuang rasa sukanya ini? Dan jawabannya pasti adalah iya. Karena bagaimanapun ia akan punya anak dan mana mungkin ia akan bisa bersama dengan Letta lagi.

Tapi bisakah dirinya membiarkan Letta bersama dengan orang lain? Karena kali ini jawabannya juga pasti tidak. Tadi sore saja, ia melihat Letta diantar pulang bersama Hami. Rasanya ia ingin sekali menghantamkan tinju ke wajah cowok itu. Ia mendapati dadanya bergemuruh hebat oleh keinginannya memisahkan dua orang itu. Hami. Cowok itu memang memanfaatkan kesempatan dengan baik. Selagi iavtidak sekolah, Hami pasti mendekati Letta. Dan Alex penasaran dengan reaksi Letta bagaimana. Apakah Letta malah senang kalau ia tidak berangkat sehingga bisa bersama Hami? Kalau sampai benar, terkutuklah mereka berdua.

Tiba-tiba saja Alex memegangi kepalanya yang terasa bagai ditusuk-tusuk jarum. Sakit sekaligus nyerinya semakin terasa. Ia yang tadinya sedang berdiri langsung terjatuh merosot ke lantai.

Gue kenapa sih? Batinnya.

Alex merasa semakin gelisah. Matanya terbuka tetapi menyorotkan ketakutan yang besar. Nafasnya pun menjadi tersengal-sengal. Ia yang sedang terduduk segera beringsut ke ranjangnya. Ia memegangi pinggiran ranjang, niat hati akan berdiri tetapi kakinya terpeleset. Dan ia semakin ketakutan.

Lalu badannya menegang kaku dan membeku sesaat ketika bayang-bayang itu datang lagi. Bayangan seorang anak kecil perempuan sedang bermain dengannya. Sejurus kemudian pikirannya terlempar ke saat dimana ia dan Letta pergi ke jembatan saat pulang sekolah dulu.

"Lo gak takut kalau berada di atas sini?"

Letta menggeleng. "Gue kan traumanya bukan di jembatannya, tapi sama airnya, jadi gak ada alasan buat gue takut."

Kemudian ingatannya terganti dengan dua anak kecil yang berdiri di pinggir jembatan. Bayangan itu terasa samar-samar dan itu membingungkan Alex.

"Kamu takut gak kalau kita nyari ikannya di jembatan?"

Anak perempuan dengan mata bulat di bayangan Alex itu menggeleng. "Aku gak takut. Ayo kita ke sana sekarang." katanya dengan senang lalu menarik tangan anak laki-laki yang bersamanya dan keduanya berjalan di atas jembatan.

Kepala Alex semakin sakit, wajah anak itu terasa sangat familiar dan jantungnya berdegup dengan kencang begitu ia tahu siapa mereka. Tentunya itu dirinya dan Letta.

"Argh..." erang Alex. Lalu matanya melirik ke kiri dan kanan dengan penuh ketakutan. Ia kemudian menekuk kakinya lalu membenamkan kepalanya ke sana. Titik-titik keringat pun ikut menampakan diri dengan mulai bermunculan di dahinya. Tangan Alex yang bebas mulai menjambak rambut sendiri ketika lagi-lagi bayangan lainnya bermunculan.

Alex sedang berada di kolam renang setelah ia selesai melakukan praktek renangnya. Ketika ia akan keluar, bersamaan dengan itu melihat Letta yang ragu-ragu berjalan karena di tempatnya berdiri sedang ramai oleh anak-anak yang lewat. Alex bisa melihat kecemasan di wajah Letta. Cewek itu terlihat takut untuk melangkahkan kakinya.

Please, tetap di sana. Jangan bergerak, Ta.

Tapi harapan memang selalu berbanding dengan kenyataan.

Mischievous BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang