"Masih lama gak sih?" Alex mengerang kesal.
"Sebentar lagi selesai." sahut Letta dengan tangannya yang masih lincah menuliskan semua materi di papan tulis ke buku catatan miliknya.
Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, tapi kedua anak itu masih berada di dalam kelas. Penyebabnya adalah Letta yang masih saja sibuk mencatat apa yang diajarkan guru tadi di papan tulis.
Kalau siswa lain mungkin akan memilih untuk memfoto saja materinya dan ditulis di rumah, tapi beda dengan Letta. Ia tidak suka kalau urusan catat mencatat dikerjakan di rumah. Ia lebih suka untuk menyelesaikannya di sekolah karena kalau sudah di rumah hawanya selalu malas. Janjinya sih iya bakalan dicatat sepulang, tapi bisa dipastikan itu hanya hoax semata.
Beberapa kali ia ikutan temannya memfoto materi di papan tulis dengan niatan menyalinnya di rumah tapi prakteknya nol besar. Letta bahkan lupa akan hal tersebut.
"Kelamaan gue tinggal."
"Sabar sedikit lagi." geram Letta kesal.
Ia pun menambah kecepatan menulisnya, tak peduli bisa dibaca orang atau tidak, yang penting dirinya bisa baca tulisan sendiri.
"Gue hitung sampai tiga gak selesai, gue tinggal sendirian di sekolah. Satu..."
Letta semakin panik, ia terus bolak balik melihat ke depan lalu ke bukunya lagi. Begitu seterusnya.
"Dua..."
"Selesai." Letta menggebrakkan tangan kanannya beserta pulpen yang ia pakai ke atas meja.
"Oh selesai, sekarang lo yang tungguin gue." ujar Alex santai.
Perkataan Alex membuat kening Letta berkerut. Hal selanjutnya yang terjadi adalah Alex mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda kecil berwarna putih. Rokok.
Itu adalah rokok yang ia beli kemarin di jalan saat mencari Letta. Tadi pagi ia sempat mengambil satu batang untuk dibawa ke sekolah. Yang lainnya ia kembalikan ke tempat semula, ke dalam lemari yang semoga saja tidak terjangkau Sari.
"Lo mau ngapain?" tanya Letta heran.
"Mau nyantet orang." Alex menyalakan rokoknya dan mulai menghisap asap yang dihasilkan rokok tersebut.
Letta dibuat terperangah oleh Alex. Bisa-bisanya cowok ini merokok di lingkungan sekolah. Kalau ketahuan guru kan bisa bahaya ditambah posisi mereka sedang berdua di kelas. Bisa jadi nanti ada yang salah paham.
"Lebih baik lo matiin tuh benda gak berguna. Gue sih gak peduli lo mau ngerokok atau enggak, tapi yang penting selama lo deketan sama gue jangan pernah sekalipun lo pake tuh benda beracun itu. Dan, please ini tuh di sekolah, lo bisa kena skors kalau ketahuan ngerokok."
"Perhatian amat sama gue." Alex menyeringai. Ia menghirup rokoknya lalu melepaskan asapnya ke atas.
Letta memutar matanya. "Ini namanya bukan perhatian tapi kalau lo kena skors, gue juga bakalan kena imbasnya bego."
"Gue pikir cewek suka cowok yang merokok. Kata mereka...keren." Alex mengendikkan bahunya ke atas bersikap tak peduli pada larangannya Letta.
"Gak pernah ada di dalam kamus gue kalau cowok yang merokok itu keren. Itu namanya tolol, udah tahu rokok itu bisa mbunuh diri lo sendiri tapi masih aja dipake. Heran gue sama kaum cowok sejenis kayak lo."
"Emang jaman sekarang masih ada cowok mulutnya suci gak kena rokok? Gue rasa anak SD aja udah tahu jawabannya." Letta lagi-lagi melihat Alex menyeringai ke arahnya.
"Ada." jawab Letta lantang.
"Siapa? Banci?" kekeh Alex.
"Lo ngatain Hami banci?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mischievous Boy
Teen FictionHanya karena selembar kertas DO dari sekolahnya, hidup seorang Alex menjadi berubah 180 derajat. Yang biasanya dimanjakan dengan kekayaan orang tuanya di kota, harus rela dipindahkan ayahnya ke desa tempat neneknya tinggal tanpa membawa apapun. Dan...