Letta meremas naskah drama yang ia pegang. Ia sudah membaca keseluruhan ceritanya dan mendapati kalau dialog menjadi Snow White terlalu banyak menurut porsinya. Letta padahal berharap kalau misal ia jadi pemeran hanya mengucapkan sepatah dua patah kata saja, bukan ratusan kata seperti yang tercetak di dalam naskah. Huuh, ekspektasi memang sering berbanding dengan kenyataan.
Di sebelah Letta ada Alex. Cowok yang satu ini menanggapi naskah dramanya dengan santai dan tidak merasa ada yang salah. Bagiannya pas, tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Alex meletakkan naskah dramanya ke meja dan melirik ke Letta yang cemberut. Ia tahu pasti cewek ini kesal karena memang bagiannya Letta banyak sekali. Hampir di tiap adegannya Letta keluar.
Alex mengggeser kursinya menghadap Letta, ia lalu tersenyum geli melihat Letta yang masih diam saja menampilkan wajah bete sehabis selesai membaca naskah drama itu. Ia lalu mengayunkan tangannya ke atas.
"Wajahnya bisa kali gak usah ditekuk gitu." kata Alex sambil mengacak puncak kepala Letta hingga rambut cewek itu berantakan.
"Ganggu banget sih." ujar Letta kesal sambil melirik ke Alex. Ia lalu menampik tangan Alex dengan kasar. "Jauhin tangan lo."
"Sensi amat." Alex menjauhkan tangannya.
"Udah tahu lagi gak mood, tetep aja diganggu." gerutu Letta lirih tapi Alex masih bisa mendengarnya.
Selama beberapa detik, Alex mengangkat sudut bibirnya ke atas. "Kenapa? Ada masalah sama dramanya?"
"Gak pake ditanya juga lo pasti tahu jawabannya." sembur Letta.
Alex menganggukan kepalanya seakan paham. "Bukannya bagus ya lo dapet pemeran utama, apalagi gue pasangannya. Selain lo bisa dapet nilai tambah buat pelajarannya, kapan lagi lo bisa berpasangan sama gue." balas Alex dengan seringaian khasnya.
Letta hampir tertawa mendengar penuturan Alex. "Bagus darimana coba, yang ada gue tuh ngerasa dibebanin. Gue harus tampil sempurna jadi pemeran utama, gak boleh ada yang salah. Padahal gue tuh gak bisa akting, gak biasa tampil di depan umum. Ditambah ternyata nih dialog gue banyak banget, dikira gue bakal hafal lancar semuanya? Gue juga takut kalau gue gak bisa. Nanti yang ada malah ujung-ujungnya malu-maluin."
Disaat Letta mengatakannya dengan berapi-api, Alex membalas perkataan Letta dengan tenang. "Setidaknya lo kan bisa belajar dulu. Lo udah dikasih kepercayaan sama anak sekelas, mau gak mau lo harus bisa pegang tanggungjawab ini."
"Halah, anak-anak mah percaya sama gue karena mereka gak mau jadi pemeran utama. Maunya orang lain yang susah. Padahal di antara mereka semua ada yang lebih pantes jadi si putri. Belajar juga kalau gak ada niat, gak dari hati, gak bakalan masuk ke otak. Yang ada malah mental lagi sebelum masuk ke kepala." ucap Letta ngawur.
Alex menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir si Letta sampai sekesal itu karena mendapatkan peran utama.
"Setidaknya gue yang jadi pasangan lo, secara kita berdua kan udah kenal lebih dekat daripada sama yang lain. Lo gak perlu kaku atau sungkan sewaktu main sama lawan mainnya, toh bukannya malah jadi nyaman kalau sama gue."
"Itu masalah-" Letta segera menghentikan ucapannya begitu tersadar ia hampir saja keceplosan mengatakan sesuatu yang menurutnya terlarang untuk diucapkan. Wajahnya memucat seketika membayangkan skenario seperti apa yang terjadi kalau ia keterusan berbicara. Mengerikan.
"Masalah apa?" Kening Alex mengernyit dalam ketika menanyakannya.
Letta mengibaskan tangannya ke depan, berusaha bicara dengan santai walau aslinya suaranya bergetar. "Udah lah, pusing gue. Gue mau ke kantin." Letta berdiri dari kursinya dengan cepat hingga menimbullkan bunyi decitan yang cukup keras. "Lo mau ikut gak?" tanya Letta tanpa menatap Alex.
![](https://img.wattpad.com/cover/104103573-288-k848356.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mischievous Boy
Teen FictionHanya karena selembar kertas DO dari sekolahnya, hidup seorang Alex menjadi berubah 180 derajat. Yang biasanya dimanjakan dengan kekayaan orang tuanya di kota, harus rela dipindahkan ayahnya ke desa tempat neneknya tinggal tanpa membawa apapun. Dan...