[1]

1K 64 29
                                    

Aku melepas 20 tahunku, meninggalkan di suatu tempat, lalu melanjutkannya di sini. Atau, bisakah ini disebut memulai kembali?

Desember yang dingin, seperti tatapannya ketika melihatku menginjakkan kaki di rumahnya, rumah kami. Meskipun ini tidak baik-baik saja, aku tetap berharap bahwa prasangkaku salah. Semoga.

Hyorin Noona menikah dengan laki-laki yang menurutku terlalu tua. Ada niat menentang. Hanya saja ketika hyung meminta izin kepadaku, dan aku melihat ada kesungguhan di matanya, aku tidak bisa menolak. Mereka yang saat itu duduk di hadapanmu memang terlihat saling mencintai.

Di mataku, hyung seperti Appa. Mungkin itu juga yang dilihat  Hyorin Noona.

Ah, apakah cinta orang dewasa seperti itu? Apakah menerima semudah ini?

Lalu, aku seperti di balik oleh keadaan. Kehadiranku, atau mungkin kami, yang sepertinya sulit diterima olehnya.

"Jimin-a, kami akan segera berangkat. Keluarlah," ucap Hyorin Noona.

Malasnya....

"Jimin-a...." panggilan itu datang sekali lagi.

Hyung dan Hyorin Noona sudah siap dengan kopernya masing-masing. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Bisnis sekaligus honey moon. Ya, bisa dibilang seperti itu.

"Jimin-a, maaf tidak bisa menemani hari-hari awalmu di sini. Setelah urusan ini selesai, mari kita melakukan banyak hal bersama. Dan Ruri, temani Jimin di rumah. Ingatlah untuk pulang ke sini, bukan tempat tinggalmu yang lebih dekat dengan tempat kerja itu. Sekarang kalian adalah saudara." Hyung memberi pesan.

"Semoga hari-hari kalian menyenangkan, ya...." kata Hyorin Noona.

Aku mengangguk lalu tersenyum. Sementara dia... hmmm... wajahnya tidak terbaca. Tidak ada ekspresi.

***

Kamar kami berdampingan. Ketika pintu dibuka, aku bisa mendengar dengan jelas. Dia memilih keluar kamar ketika tahu aku ada di dalam kamar. Juga sebaliknya. Hingga akhirnya, pintu berderit yang disusul aktifitas di dapur.

"Laparnya...," kataku yang hanya sampai pada telingaku sendiri. Kasihan sekali.

Aku menatap luar melalui jendela. Dingin di sana seperti berkompromi sehingga semakin menyiksa keadaanku. Walapun sebenarnya, ada yang jauh-lebih-dingin-di-dalam-sini.

Kemudian, ada kertas yang masuk melalui celah bawah pintu kamarku. Aku beranjak dan membaca pesan di sana.

Keluar. Makanlah.

Aku keluar, menuju meja makan. Rumah tetap sepi, sepertinya dia sudah kembali ke kamarnya. Di hadapanku, ada sup daging yang masih mengepulkan asap.

Aku merasa ada yang hangat, bahkan sebelum makanan itu sampai di perutku.

Love Yourself: What Am I to YouWhere stories live. Discover now