[15] Pertanyaan yang Ditahan

90 9 21
                                    

Nam Mi Ra

"Bagaimana caramu turun dari kursi?" tanyaku kepada Jimin. Eonnie masih diam, dan kami masih di toko. Shin Hye belum juga menampakkan diri. Aku ingin menjitaknya kalau bertemu!

"Loncat," jawab Jimin sambil sibuk dengan permennya.
"Bagaimana kamu bisa keluar?"
"Ikut ahjumma."

A.... Pantas aku melewatkan Jimin yang diam-diam keluar dari toko. Langkahnya membarengi ahjumma yang selesai belanja. Errr....

"Dengar. Ini yang terakhir, Jimin-a!"
"Oke," jawabnya sambil nyengir.

Kenapa kamu begitu mirip dengannya astaga!

Lonceng berbunyi, pintu dibuka. Masih dengan berharap bahwa Shin Hye yang datang. Sayangnya, Jimin yang berdiri di sana.

"Selamat datang...." ucapku, setelah beberapa saat hening.

Aku kembali ke meja kasir.

"Jimin, kita pulang," ucap eonni.

Sekali lagi, aku melihat adegan dua Jimin menengok ke arah eonni.

"Oh, maaf...." Eonni tidak melanjutkan kalimatnya. Mungkin bingung sekaligus canggung.
"Tidak apa-apa... tidak apa-apa," jawab Jimin sambil tersenyum.
"Sekali lagi, aku minta maaf dan terima kasih untuk yang baru saja terjadi."

Masih dengan tersenyum, Jimin mengangguk.

Eonni pulang dengan meninggalkan belanjaannya. Itu berarti, aku akan menebus terlebih dulu dan mengantarkan ke rumahnya.

"Yang barusan itu kakakmu?" tanya Jimin. Kami hanya berdua.
"Iya."
"Lalu Jimin?"
"Anaknya."
"Oh...."

Aku tahu, Jimin menggantungkan pertanyaan selanjutnya. Tapi, sepertinya ada pertimbangan yang dia lakukan.

Lonceng berbunyi, Shin Hye menampakkan diri.

Alih-alih menjitaknya, justru ku kecup pipinya dan aku pergi.

"Mi Ra, bisakah kita bicara?" Jimin mencegahku.
"Lain hari, ya," jawabku, kemudian berlalu.
"Kenapa memilih nama Jimin, di antara banyak nama di dunia ini?"

Apakah barusan ada yang bertanya? Oh ya, pura-pura saja tidak mendengar.

Love Yourself: What Am I to YouWhere stories live. Discover now