[23]

120 16 6
                                    

Aku mengingatnya sebagai hari penentuan. Hari yang sama dengan pertama kalinya aku melihat Ruri Noona, meskipun itu hanya sekilas.

Hyorin Noona sudah duduk bersamaku di meja, yang sepertinya sudah dipesan jauh-jauh hari. Dan, aku melihatnya lagi. Laki-laki yang kukira bos noona, sedang berbicara serius dengan perempuan yang kutaksir usianya tidak begitu jauh dengan noona. Mereka seperti mendebatkan sesuatu di dekat pintu masuk. Perempuan itu mengangkat ponsel, menurunkan sebentar seperti memohon, hingga akhirnya pergi.

Laki-laki yang akhirnya duduk di depanku, usianya tidak jauh beda dengan Appa. Sejak hari itu aku memanggilnya "hyung". Dia adalah calon suami Hyorin Noona. Perempuan yang tiba-tiba pergi tadi adalah anaknya. Ya, dia perempuan yang saat ini tinggal bersamaku di rumah. Rumahnya. Ruri Noona.

***

"Kau sudah tidur?"

"Ya."

"Mana ada orang tidur bisa menjawab."

Bodoh!

Apa yang dia lakukan, lagi-lagi, di kamarku?

"Noona mencari sesuatu?" tanyaku, masih dengan nyaman di balik selimut.

"Mencarimu."

Aku menurunkan selimut, lalu memiringkan badan, menghadap Ruri Noona.

"Apakah sesuatu terjadi? Perlukah kita makan enak dan mahal? Atau keluar minum-minum, lagi?" tanyanya.

"Lagi? Kita belum pernah melakukan apa pun, Noona. Mana mungkin ada kata 'lagi'."

"Tapi aku tahu, kamu pulang dari minum-minum, kan? Aku sudah berulang kali bilang, bersihkan badan baru kemudian tidur."

Dengan enggan aku bangun dari tidur, beranjak ke arah lemari, mengambil baju.

"Mau ke mana? Bawa baju?"

"Mandi. Apa Noona mau melihatku tanpa baju lagi? Ha?"

Aku keluar kamar sambil merutuki diri.

Astaga apa yang kukatakan barusan? Aku masih mabuk, kah?

Love Yourself: What Am I to YouWhere stories live. Discover now