Love Yourself: What Am I to You

[20] Kita yang Masih Terlalu Muda

Nam Mi Ra

Aku, em... lebih tepatnya kami, masih bertahan di balkon. Bahkan hingga jam pulang sekolah berdentang. Beberapa kali ada anak yang ingin ke balkon, tapi Jimin selalu menahan dan meminta mereka pergi.

"Maaf, ada seseorang di sana sedang muntah-muntah. Pasti kamu tidak akan nyaman. Kembalilah besok."

Begitu katanya. Apanya yang muntah astagaaaa?!

Bisa dibayangkan, dengan suaranya yang begitu manis, Jimin harus berbohong. Demi aku.

"Apakah semua orang sudah pulang?" tanyaku.

"Kurasa sudah. Mau turun? Ayo. Kamu duluan."

Aku mendengar langkah Jimin menjauhi pintu yang menghubungkan tangga turun. Dia sengaja menyingkir agar aku bisa lewat. Seperti yang dia bilang, dia tidak akan melihatku menangis.

Di toilet, aku melihat pantulan yang sangat kacau. Mata merah dan bengkak. Kubasuh wajah dan mengelap dengan tisu. Ya, sedikit mendingan....

Begitu keluar toilet, ada yang melempar jaket ke arahku.

"Aku tidak bisa berjalan di belakangmu terus. Tudungkan jaket itu hingga orang-orang tidak bisa melihat wajahmu. Ayo kita keluar bersama," ucap Jimin, tanpa aba-aba meraih tanganku.

"Tunggu, aku harus ke kelas mengambil tas."

"Matamu tidak melihat apa? Tasmu sudah kubawa ini."

Awalnya aku terkejut dengan ucapannya. Tapi yang ada justru tertawa.

"Kenapa ha? Ada yang lucu?" tanyanya kemudian.

"Aku tahu kamu capek menungguiku di atas tadi. Maaf dan terima kasih, Jimin-a. Mari kita pulang bersama."

Kami menunggu bus yang menuju tempat tinggal kami. Selama itu, Jimin masih menggenggam tanganku. Bus datang, dia berdiri lebih dulu dan menarikku mengikutinya. Aku ditempatkan di dekat jendela, dan kami duduk masih dengan tangan menyatu.

"Akan sampai kapan?"

"Oh ya, sebenarnya tanganku sudah berkeringat dari tadi."

Lalu kami kembali tertawa.

***

Seharusnya aku sadar sejak lama, jika bersamanya, aku akan selalu baik-baik saja.

Tapi saat itu aku masih terlalu muda, untuk menyadari semuanya.