"Kapan pertama kali kamu melihatku, Jimin-a?" tanya Ruri Noona.
Dia sedang tidur di kasurku. Apa maksudnya coba? Sementara aku duduk di kursi sambil mengeringkan rambut. Oh, siapa pemilik kamar ini sebenarnya?
"Di restoran, tapi hanya sekilas. Waktu itu aku lihat Noona berbicara dengan hyung. Lalu pergi."
"Oh. Ya, saat itu aku gugup dan menyuruh Namjoon meneleponku. Aku pura-pura ada keperluan sangat penting jadi harus pergi. Hahaha.... Kenanak-kanakan sekali, kan?"
"Apakah kita sedang bicara serius saat ini?" Aku bertanya, masih dengan tangan yang sibuk mengacak-acak rambut dengan handuk.
"Tidak juga."
"Apakah Noona kasihan kepada keluarga kami?"
"Ha?"
"Aku melihat tatapan tidak menyenangkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Itu sangat mengerikan."
"Eomma meninggal saat aku masih kecil. Duniaku hanya bersama Appa. Tidak buruk. Aku merasa baik-baik saja. Setelah semakin dewasa, aku sadar kalau di antara kami sudah banyak yang berubah. Tidak banyak hal yang bisa kami bicarakan berdua lama-lama seperti dulu. Hal yang lucu buatku, tidak bisa dianggap lucu oleh Appa. Garing sekali hubungan kami. Belum lagi pendapat kami yang sering berbeda dan tidak jarang berujung pertengkaran. Kemudian aku bekerja dan bisa menyewa apartemen. Ya, apartemen yang kamu kunjungi waktu itu. Aku dan Appa semakin jarang bicara. Bahkan ketika bertanya lewat telepon, kami sering diam lama, lalu bersamaan berkata sesuatu, diam lagi. Dan, ya... seperti itu."
Dia menghela napas.
"Kakakmu terlalu muda untuk kupanggil eomma. Hahaha. Bahkan sampai sekarang aku masih memanggilnya eonni."
Ada jeda. Tapi aku belum mengeluarkan suara. Sebab, ada orang-orang yang memang hanya perlu didengarkan.
"Aku berterima kasih kepada kakakmu karena sudah mau menikah dengan Appa. Akhirnya setelah aku sudah tidak bisa memahami Appa lagi, ada perempuan muda yang sangat baik menerimanya."
"Hmmm...."
"Dan aku menghindari pertemuan itu karena takut kamu akan menolak Appa. Hahaha.... Ah, Jimin-a, sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara malam ini. Kamu butuh istirahat."
Noona bangun dari posisi tidur, sementara aku juga berdiri dari dudukku.
Kukira langkahnya akan ke arah pintu, tapi kenapa justru menujuku?
"Terima kasih, Jimin-a," bisiknya.
Baru saja dia memelukku.
YOU ARE READING
Love Yourself: What Am I to You
FanfictionSeperti halnya melepas, menerima juga bukan perkara mudah. Harus ada kompromi dalam diri, atau justru merelakan. Aku masih sering sulit menerima keadaanku yang sekarang karena peran masalalu. Hingga akhirnya, ada orang-orang yang menyadarkan bahwa a...