"Kenapa kalian tidak mengajaknya bicara? Dia temanku, seharusnya kalian tidak begitu."
Aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel ke sosoknya yang ada di hadapanku. Dia menghadap orang lain.
"Jimin-a! Kenapa kamu sibuk mainan ponsel?" Sekarang dia menatapku.
"Tidak apa-apa Taehyung-a. Tidak apa-apa."
"Lain kali tidak boleh seperti ini lagi. Ajak ngobrollah. Kalian temanku, dia juga temanku. Kita semua berteman. Okay?!"
Dua orang yang sedang "diintimidasi" itu menoleh ke arahku. Mereka tersenyum hangat.
Barangkali jika tidak ada Taehyung, aku tidak akan menerima senyum itu. Tidak akan mendapatkan pertemanan yang baik dengan mereka.
Taehyung. Dia sangat banyak memberi. Sangat banyak. Aku hanya dan selalu menerima.
Temanku tidak banyak. Bahkan bisa dibilang tidak punya. Aku sering kikuk untuk memulai pembicaraan, dan sering malu berhadapan dengan orang baru. Bisa disebut minder, meskipun aku tidak ingin mengatakannya.
"Kamu tidak bisa hidup sendiri. Sekarang, kita berteman. Selamanya. Okay!"
Berlari lebih ke belakang, itu obrolan pertamaku dengan Kim Taehyung.
Sejak itu, temannya adalah temanku. Meskipun aku hanya bisa dekat dengan Taehyung dan berani bercerita tentang diriku yang sebenarnya, juga tentang rahasia-rahasia yang awalnya kusimpan sendiri. Jika tidak ada dia, aku tidak tahu rasanya ringan berbagi beban.
Dan hari ini, untuk pertama kali aku membentaknya.
***
"Ya! Bisakah kalian tidak berteriak seperti itu?"
Ternyata ada teriakan yang lebih menarik perhatian pengunjung kafe daripada teriakanku sebelumnya kepada Taehyung.
Semuanya seperti beku. Dingin di luar menjalar hingga ke dalam kafe.
Taehyung berdehem. Menyadarkanku, menyadarkan semuanya. Aku berdiri dari duduk dan melangkah keluar. Tatapanku sempat menangkap sekilas perempuan yang barusan berteriak, juga kasak-kusuk sekeliling kami.
Dalam perjalanan pulang itu, aku kembali mengingat perkenalan pertamaku dengan Taehyung. Bagaimana dia mengenalkanku dengan teman-temannya, meyakinkanku untuk percaya diri, dan yang paling penting, dialah orang yang meyakinkan bahwa kakiku akan baik-baik saja untuk diajak menari.
Aku berbalik arah. Kembali berjalan menuju kafe. Oh bukan berjalan, aku berlari.
Lalu terlambat.
Taehyung sudah tidak ada.
"Eh... kamu yang ada di depan pintu," panggil perempuan di balik meja kasir.
Dia bukan perempuan yang tadi berteriak.
Aku agak melotot karena kaget, dan menunjuk diriku sendiri. Memastikan bahwa yang dia maksud adalah aku. Sementara itu, untuk entah ke sekian kalinya, semua orang menatapku. Lagi.
Begitu sampai di depanku, perempuan itu menyodorkan sebuah kertas, "Ada pesan buatmu."
Ada yang tidak berubah, aku tahu kamu pasti kembali. Lalu membaca pesan ini.
Ada yang tidak berubah, tentang rahasia-rahasiamu yang masih rapat kamu simpan sendiri.
Ada yang banyak berubah, kita sudah semakin dewasa ternyata.
Ada yang banyak berubah, kamu sudah berani membentakku.
Iya, aku sudah memaafkanmu bahkan sebelum kejadian hari ini.
-Kim Taehyung-
YOU ARE READING
Love Yourself: What Am I to You
Hayran KurguSeperti halnya melepas, menerima juga bukan perkara mudah. Harus ada kompromi dalam diri, atau justru merelakan. Aku masih sering sulit menerima keadaanku yang sekarang karena peran masalalu. Hingga akhirnya, ada orang-orang yang menyadarkan bahwa a...