Park Jimin
Temanku pernah bilang seperti ini, kenapa tahun baru selalu identik dengan kembang api? karena bahagia itu singkat.
Buku yang pernah kubaca juga pernah tertulis begini, coba ketika ada orang bertanya kamu sedang apa, jawab sedang bahagia. Pasti akan ada pertanyaan lanjutan seperti, bahagia karena apa?
Ya. Bahagia bisa semahal itu sekarang. Harus ada alasan orang-orang untuk bahagia.
***
Ini adalah malam tahun baru. Eomma bilang, pasti beda rasanya merayakan tahun baru di Seoul, tidak seperti di Busan, seperti yang sudah-sudah. Melalui sambungan telepon, aku hanya menjawabnya dengan tawa. Tahun baru cukup keluar dari apartemen menuju balkon. Di langit, ledakan kembang api beraneka warna.
Dua bulan di Seoul, dan aku sudah pindah tempat tinggal dua kali. Luar biasa. Sebenarnya, aku bukan tipe orang yang suka berpindah. Bahkan keberadaanku di Seoul pun karena aku menjemput pekerjaan baru.
Di apartemen lama, sangat berisik. Tetanggaku sering sekali mabuk dan berteriak. Untuk ukuran manusia yang tidak banyak tempat tujuan, berdiam diri dengan malas-malasan sepulang kerja adalah surga. Tapi surga tidak lagi menjadi surga jika sudah merasa terganggu.
Dan di sini aku sekarang. Apartemen yang tidak kalah sempit, tetapi setidaknya tidak ada teriakan memekakkan telinga.
Sudah lewat pukul 12, seharusnya tidur adalah pilihan yang baik. Sayangnya, perutku protes ingin diisi dengan sesuatu yang hangat. Ramen dan kimchi malam-malam begini apakah perpaduan yang bagus? Ah, bodo amat.
Aku perlu keluar. Di gang depan, aku tadi melihat ada sebuah minimaket 24 jam.
***
Duduk di pojok minimaket, melihat luar berbatas kaca. Malam sudah sepi, juga tidak ada kembang api lagi. Ramenku sebentar lagi tandas.
Ada bunyi semacam lonceng yang menandakan pintu minimaket dibuka. Aku menoleh, tapi dia tidak.
Mendadak, ada dentuman lain di hatiku. Ada ledakan lain di kepalaku. Ini berlebihan, iya aku tahu.
Tapi setelah sekian lama, aku melihatnya lagi.
YOU ARE READING
Love Yourself: What Am I to You
FanfictionSeperti halnya melepas, menerima juga bukan perkara mudah. Harus ada kompromi dalam diri, atau justru merelakan. Aku masih sering sulit menerima keadaanku yang sekarang karena peran masalalu. Hingga akhirnya, ada orang-orang yang menyadarkan bahwa a...