Stiches

201 23 0
                                    

- I see you in back of my mind. But never mind it'll never stay forever

Selasa, 05:15 am.
Hari kedua setelah libur musim panas berakhir. Aku lebih malas ketimbang kemarin.
Aku membuka jendela kamar dan..

"Goedemorgen princess.." Sapa Dillan dari jendela kamar nya. Yap. karna rumah kami sebelahan dan yang lebih kebetulan nya lagi, jendela kami hanya berjarak kurang dari lima meter. Aku hanya mengangkat satu alis ku dan pergi keluar kamar untuk mandi. Setelah mandi aku memakai mini dress tanpa lengan bermotif bunga vintage dengan dominan warna merah, lalu aku padukan dengan cardigan warna pink salmon. Dan aku memakai flat shoes warna hitam.

"Morning mom." Aku mencuci tangan ku di wastafel. lalu mencium pipi ibu ku yang sudah duduk di kursi meja makan. Aku duduk mengambil posisi di tempat kemarin.

"Bisa bantu mengepang rambut ku?" Tanya ku dengan puppy eyes. Ibu langsung mengepang satu ke belakang.

"Sudah.. Kamu cantik sayang." Ucap ibu. Aku hanya tersenyum ke arah ibu.

"Macaroni saus keju.. Aku merindukan ini" Aku langsung memakan macaroni tersebut.
"Tetap enak seperti biasanya. Aku meminum segelas susu rasa coklat dan langsung mengambil tas ku lalu berjalan keluar. "Aku pergi." Ucap ku pada ibu.

Aku berhenti saat melihat Dillan ada di depan rumah ku bersandar seperti kemarin. Dia memakai kaos putih dan jeans. Aku akui style nya memang keren. Tapi kenapa aku tak bisa mencoba menyukai nya?

"Kau disini?" Tanya ku saat membuka pagar rumah.

"Ayo pergi." Ajak nya.

"Berjalanlah duluan, aku mau menutup pagar." Balas ku.

"Tidak."
"Ladies first." Ucap nya lagi. Setelah aku menutup pagar , aku berjalan meninggalkan Dillan.

"Kau sangat cantik." Teriak nya dari belakang. Aku tidak menghiraukan nya.
-
Akhirnya hari ini, aku tidak duduk bersebelahan dengan Dillan. Dia berdiri di sebelah ku karna tidak ada bangku yang tersisa untuk nya. Setidaknya dia tidak duduk di samping ku.
-
Lagi... dan lagi. Dillan meninggalkan ku dan menjadi orang yang tak mengenal aku saat kami di sekolah. Mungkin dia sedang jaga image? berlagak cool saat di sekolah.
-
'Brukk' Aku menumbur seseorang. Oh tidak masalah besar.

"Apa kau tidak punya mata?" Abel membentak ku.

Aku hanya melihat nya dari ujung kaki sampai ujung kepala nya. Huft.. Rambut blonde nya sangat menjegkel kan. Membuat aku ingin sekali menjambaknya.

"Aku tidak ingin melihat kau bersama Dillan." Sambung nya.

"Aku juga tidak ingin bersama Dillan." Jawab ku.

"Oh ya? Baguslah kalau begitu, aku tidak perlu susah payah untuk memisahkan kau dan Dillan."

Aku langsung meninggalkan Abel. Tapi Abel mencegahku pergi dengan menahan tangan ku.
"Awas jika kau berani menceritakan ke semua orang."

Aku melepaskan cengkraman Abel. Dan berjalan menuju kelas. Aku membantingkan tas dan langsung duduk di kursi. "Dasar wanita berkepala dua." Desis ku.

"Siapa yang kau maksud wanita berkepala dua?" Tanya seorang laki - laki dengan suara serak dikuping sebelah kanan ku. Aku mengenali suara itu. Tak lain, dan tak bukan, itu suara Dillan. Aku melirik ke arah nya. Dan ternyata dia sedang asik membaca buku. Astaga dasar Dillan.
-
Aku berusaha keluar kelas lebih awal, agar aku tidak mendapat bus yang sama dengan Dillan. Akhirnya setelah sekian lama, keberuntungan berpihak juga kepadaku, hari ini aku tidak mendapat bus yang sama dengan Dillan.
-
Baru saja aku merasa senang tidak satu bus dengan Dillan. Sekarang dia sudah bersender di pagar rumah ku. Menyilangkan tangan di depan dada nya. "Mau apa kau?" Tanya ku.

"Mau mengajak mu membuat tugas akhir bersama." Dia Menatap ku. Tapi itu tak berlangsung lama, karna aku langsun memalingkan wajah ku ke arah lain.

"Minggir aku mau masuk." Sedikit aku naikan nada suara ku. Dillan mencengkram tangan ku. Aku mencoba melepaskan nya tetapi genggaman tangan nya sangat keras. "Dillan cukup, mulai sekarang jangan pernah memperdulikan aku lagi! Anggap saja kita tidak pernah kenal. Dan kalau bisa, coba lah untuk mendekati Abel."

Perlahan Dillan mulai melepas genggaman tangan nya. Tanpa menoleh ke arah Dillan, aku masuk ke dalam rumah, lalu bersender di pintu.  Sebenarnya aku tidak tega bicara seperti itu kepada Dillan, tapi aku tak mau bila harus menambah musuh. Tak masalah jika aku membiarkan Dillan menjauhi ku dan mencoba mendekati Abel. Bukan nya itu lebih baik? Maafkan aku Dillan, jika aku terlalu kasar. Aku mengintip dari jendela, Dillan masih berdiri di depan rumah ku. Kenapa dia masih berdiri di situ? Aku jadi merasa bersalah.
-
Setelah menghabiskan makan malam, aku masuk ke kamar untuk mengerjakan tugas akhir sekolah. Aku mendengar seseorang membuka pintu kamar ku.
"Ibu.." Aku menoleh ke arah pintu.

"Kau sedang sibuk sayang?" Ibu menghampiri ku.

"Hanya membuat tugas akhir sekolah." Jawab ku.

"Ibu dulu mengerjakan tugas akhir sekolah bersama ibu nya Dillan." Ibu memegang kedua pundak ku. Kenapa ibu harus menyebut nama Dillan? "Kalau kau mau, bisa ambilkan kotak diatas lemari?" Sambung ibu. Aku langsung mengambil kotak diatas lemari. Astaga ini sangat berdebu, sudah berapa lama kardus ini ada disini?

"Apa isinya?" Aku meletakan kotak tersebut di lantai karna tak ingin kasur ku ikut berdebu.

"Ini.." Ibu memberikan album foto kepada ku.

Aku melihat satu persatu foto yang ada di dalam ini, didalam nya hanya ada foto ibu dan satu teman nya. "Siapa ini." Aku menunjuk ke foto seorang wanita yang berada di sebelah ibu.

"Itu adalah bibi Deviena." Ucap ibu.

"Siapa dia?"

"Dia adalah ibu Dillan."

Apa? benarkah? kenapa aku baru mengetahui nya? "Lalu dimana bibi Deviena? kenapa selama kita pindah disini, kita tidak pernah bertemu denga nya?" Tanga ku.

"Bibi deviena meninggal lima bulan setelah Dillan lahir. Tepat satu minggu setelah kau dilahirkan. Ayah dan kakak nya pindah ke Amerika, ayah nya menikah lagi, dan Dillan dia dirawat dan dibesarkan oleh nenek nya. Ayah nya lah yang mengirimi uang setiap bulan nya, untuk kebutuhan Dillan. Tapi kurang lebih dua tahun yang lalu nenek nya meninggal." Ibu meneteskan air mata nya.

"Jadi dia hanya tinggal sendirian?" Tanya ku.

"Iya begitula.." Ibu menghapus air mata nya.

Aku membalik album foto dan tiba lah aku dihalaman terakhir. "Foto siapa ini?" Terlihat Ibu dan bibi Deviena sedang menggendong bayi.

"Itu adalah kau kecil sayang, dan ini Dillan."

"Mengapa bisa aku ada difoto ini?"

"Saat menikah ibu memutuskan untuk tinggal disini, ibu melahirkan Nash dan kau disini, itulah sebabnya negara kelahiran mu adalah negara Belanda. Tak berapa lama dari kematian bibi Deviena, nenek dari ayah mu meninggal, sehingga ayah memutuskan untuk pindah ke desa Renvile dan meneruskan usaha kakek mu sebagai petani anggur." Jelas ibu panjang lebar. "Lanjutkan saja pekerjaan mu, ibu mau tidur." Ibu mencium kening ku dan meninggal kan kamar ku. Aku jadi merasa tidak enak dengan Dillan.

Manipulate | Shawn Petter Raul MendesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang