Adisty masih setia dengan prinsipnya. Bahwa tak ada kata balikan antar mantan di kamusnya. Masih kebal dengan gencatan Adimas yang terus saja mengejarnya seminggu ini.
Adimas bahkan sudah menyingkirkan harga dirinya saat berusaha mengembalikan kepercayaan Adisty padanya. Kepercayaan yang sempat ia hancurkan dulu. Namun tidak untuk sekarang, ia akan benar-benar berjuang untuk mengembalikan kepercayaan itu padanya.
Adimas tau, gelas yang sudah pecah tak akan pernah kembali seperti semula, meskipun dengan bantuan perekat sekalipun, hasilnya tak akan mengembalikan gelas itu seperti semula. Ia sadar akan hal itu.
Namun, batu yang terus ditetesi air secara terus menerus, maka akan luluh juga. Oleh sebab itu ia tak akan menyerah untuk kembali meluluhkan hati Adisty.
Ia tak akan membuang dengan cuma-cuma atas semua dukungan yang ia dapat dari keluarganya dan keluarga Adisty.
Mengingat ia sudah menjalin hubungan dengan keluarga Adisty sejak ia duduk di bangku SMP.
Dan hari ini hari ke delapan Adimas akan mencoba. Ia akan membuktikan ia tak berniat meninggalkan Adisty dari dulu. Tak peduli lagi dengan apa yang akan dikatakan gadis itu padanya.
Sepertinya nasib baik tak memihaknya hari ini, melihat Adisty turun dari motor Dirga dengan senyum lebar ke arah lelaki itu.
Sakit memang. Namun, ini adalah pilihannya dan pantang bagi Adimas menyerah di tengah-tengah jalannya.Adimas mencoba untuk menenangkan hatinya yang sedang bergemuruh tak henti-henti. Menarik nafas kemudian menghembuskannya secara perlahan, melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian beranjak dari tempatnya, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah kelas, sesekali menebar senyum saat beberapa murid menyapanya dengan malu-malu.
Adimas menghentikan langkahnya ketika seorang gadis berkaca mata dengan rambut menjuntai kebawah tanpa ada pernak pernik lain. Adimas mengangkat satu alisnya bermaksud menanyakan keperluan gadis itu yang sedang berdiri mematung di depannya. Terlebih lagi mereka sedang menjadi tontonan di koridor ini.
"k-kak.. D-di s-suruh! B-bu Riris ke ruangannya" katanya terbata sambil menunduk tak berani menatap mata Adimas.
"apa di bawah ada uang?" kata Adimas ikut menunduk, memperhatikan lantai berwarna kecoklatan yang ia pijak, memperhatikan sekelilingnya dengan dahi mengerut.
"eh-" gadis itu langsung mendongakkan kepalanya.
"apa?" tanya Adimas heran.
"ng-itu..."
"kalau bicara sama orang itu tatap orangnya. Bukan nunduk" potong Adimas. Ia dapat melihat pipi gadis di depannya memerah. Ahhh... Sepertinya gue salah lagi.
"k-kalau gitu aku ke kelas dulu kak" akhirnya gadis itu memilih segera pergi dari hadapan Adimas, sebelum wajahnya semakin memerah, yang malah membuat laki-laki di hadapannya lebih leluasa mengejeknya.
Adimas hanya menggelengkan kepala sebelum kembali memanggil cewek tadi.
"hei tunggu!" setelah berhasil membuat cewek tadi menoleh ke arahnya lagi, Adimas segera mendekat, kembali berhadapan.
"apa bu Riris di ruangan?" sungguh, apa ini pertanyaan penting?!
"eh.. Itu, bu Riris lagi jaga di depan"
"terus ngapain nyuruh gue ke ruangannya?"
"nggak tau, aku nggak tanya tadi" jawabnya dengan lirih, tak berani menghadap Adimas.
"kelas berapa lo? "
"s-sepuluh kak"
"nama? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Shrinking Violet
Teen FictionAdimas Adisty. Nama itu,.... Bukankah terlihat familiar? Mereka berdua sudah mencoba untuk melupakan satu sama lain. Namun takdir masih tak mau berpisah dengan kisah mereka. Karena ego tinggi mereka, mereka tak bisa merasakan indahnya kebersamaan...