part 16. Jarak Tak Kasat Mata

32 3 0
                                    

Minggu-minggu try out mulai mendekat. Kelas dua belas kini di sibukkan dengan bertumpuk buku. Tambahan jam pelajaran juga sudah berlaku dua minggu lalu. Mereka dituntut untuk mendapat nilai maksimal meskipun ini hanyalah pengukuran tingkat kemampuan mereka. Tak ada lagi yang namanya jam kosong, setiap detik pergantian pelajaran selalu disibukkan dengan guru mapel yang sedang mengajar, padahal bel sudah berbunyi.

Pihak sekolah seakan tak rela jika mereka mengistirahatkan fikiran mereka dari rumus maupun hafalan yang ada.

"baiklah bapak tutup dulu, berhubung bu Nisa sudah datang" kata guru bertubuh agak gemuk dengan dahi mulus kinclong.

Semua murid mendesah kesal. Otak mereka sudah panas dengan rumus-rumus fisika barusan. Dan sekarang mereka harus membuka buku super tebal yang berisikan tulisan-tulisan tentang runtutan kemerdekaan Indonesia. Tak punya rasa kasihan kah para guru mempekerja rodikan mereka?

"bu izin istirahat lima menit ya. Cuma lima bu, nggak lebih" Adimas bersuara dengan nada memelasnya.

Dirinya paling tak bisa untuk dipaksa belajar.

"nanti juga ada waktunya istirahat Adimas! Kamu ini sudah mau ujian akhir juga! Pemadatan materi seperti ini seharusnya kalian bersyukur karena bisa menimba ilmu sebanyak mungkin. Bukannya mengeluh! Dulu jaman ibu masih pakai lampu sumbu, kalau nggak ya obor buat belajar bareng-bareng. Meskipun begitu, ibu semangat belajar sampai malam karena pagi ibu sekolah, siangnya ibu harus bantu orang tua ibu buat ngambil air! Lah...  Ini, kalian udah di beri hidup enak, lampu tinggal sekali jentik, udah ada handphone juga buat nambah referensi kok malah males-malesan!"

"aduh bu, kami minta kelonggaran waktu lima menit buat Istirahat! Bukan buat dengerin kisah ibu. Saya juga tau kok bu, kisah ibu itu susah. Orang tua saya juga begitu dulu. Tapi kayaknya mereka nggak pernah ngeluh sama kehidupan masa muda mereka. Inget bu, kita itu harus bersyukur sama pemberian yang di atas. Kalau ibu aja masih nggak terima kehidupan sekolah ibu dulu, gimana mau maju ilmu ibu"

"ibu bukan nggak terima Adimas Risky. Ibu cuma cerita itu biar kalian ini sadar betapa enaknya hidup kalian ini! Udah, ayo buka buku kalian! Kerjakan halaman 68!"

"Ampun dehh!" dumel sebagian murid.

Lagi-lagi Adimas mendengus kesal, tak bisa meminta waktu buat istirahat. Memang ya... Guru sejarah itu ya gitu, dikit-dikit cerita tentang masalalu mereka. Ya memang masalalu bagian dari sejarah tapi tak bisakan mereka mencoba untuk menceritakan bagaimana masa depan mereka?

"lo sih pakai bantah segala. Jadi sial kan kita"

Adimas menengokkan kepalanya malas.

"kenapa?  Terserah gue dong mau apa. Toh kalau gue berhasil minta waktu Istirahat lo juga seneng kan"

"seneng! Tapi kalau akhirnya gini kan jadi senep!" sinis Adisty.

Tak mau menanggapi, Adimas segera mengalihkan pandangannya ke arah depan, melihat situasi guru sejarahnya. Kali ini ia tak kuat lagi, ia butuh tidur untuk jam tembahan nanti sore.

Melihat guru sejarahnya sibuk dengan laptop juga bukunya yang super tebal, Adimas mulai membuka buku paketnya, mendirikannya tepat di depan wajahnya sebelum menelungkupkan tangan untuk di jadikan bantalan.

Mulai memejamkan matanya, menghadap tembok dengan memunggungi Adisty. Ia mencoba tak peduli dengan ocehan Adisty. Ia tak peduli! Yang terpenting, ia dapat tidur, bangun-bangun udah bel Istirahat!

"awas aja kalau sampai nggak bangun waktu di panggil! Gue siram lo! " ancam Adisty gemas melihat Adimas masa bodoh dengan mapel ini.

Ia heran, kemana perginya Adimas yang sempat mengejar-ngejarnya seminggu lalu? Apa mungkin Adimas hanya bercanda mengenai obrolannya minggu lalu?

Bukannya ia merindukan Adimas ataupun berharap untuk Adimas kembali mengejarnya. Tapi karena keseringan di ganggu Adimas, Adisty jadi merasa ada yang hilang dalam hari-harinya.

Haaahhh...  Tapi mau bagaimana lagi, jika Adimas hanya bercanda memang Adisty harus marah begitu? Bukankah dirinya yang menolak? Ntahlah... Semua menjadi membingungkan.

"hmmm" jawab Adimas sebelum benar-benar menutup matanya.

Waktu berjalan dengan lambat bagi Adisty. Sudah dua puluh menit ia mencoba mengerjakan soal yang ia hadapi dengan serius. Namun hanya soal berbasis pilihan yang berhasil ia kerjakan. Tinggal sepuluh menit untuk di cek bersama. Ia benar-benar pusing sekarang.

Belum lagi melihat Adimas yang adem ayem sama dunianya. Ingin sekali Adisty menendang kaki laki-laki itu agar bangun dan membantunya mengerjakan 5 soal esai itu.

"Adisty... Jawab pertanyaan nomor satu pilihan ganda"

Adisty mendesah pasrah sebelum membacakan soal dan menjawabnya. Semua berlanjut hingga soal ke 30.

"Adimas, kamu nomor 1 esai"

perkataan itu berhasil membuat Adisty tersenyum kecut. Ia akan habis jika ketahuan membiarkan Adimas tidur dengan enaknya.

"jawabannya, Soekarno dan Moh. Hatta di culik ke rengas dengklok oleh sejumlah pemuda yang mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan indonesia. Peristiwa ini terjadi tanggal 16 agustus 1945" jawab Adimas dengan mata tertutup. Masih dengan merebahkan kepalanya di meja, tameng buku yang ia buat dari bukupun belum bergeser seincipun.

"ya benar. Pada tanggal ini... Bla bla bla... "

Adimas tak mendengarkan lagi ucapan guru sejarah itu. Ia lebih memilih melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Sebenarnya juga tadi ia asal ngomong karena buku yang ia keluarkan saja masih putih mulus. Belum ada secoret pena yang mengisi.

"lo... Gimana jawabnya? Nulis aja nggak" kata Adisty heran.

"anak SD juga tahu jawabannya kaya gitu kali"

"lo kan nggak nulis soalnya"

Adimas megangkat kepalanya, menatap Adisty jengah.

"siapa yang bakal bisa tidur nyenyak kalau suara dia aja kaya toa?" katanya sambil mengendikkan dagu ke arah guru sejarahnya.

"udah aht! Jangan ganggu gue! Gue mau tidur" lanjutnya kembali merebahkan kepalanya.

Adisty mendesis kesal. Kemudian kembali mengalihkan perhatiannya ke depan, kembali mendengarkan penjelasan guru sejarahnya.

*****

Adisty mendengus melihat gerbang yang mulai sepi. Ini semua salah Dirga. Jika saja laki-laki itu tak memberinya tawaran pulang bareng yang berakhir dengan batalnya ajakan itu karena urusan KIR yang laki-laki itu ikuti. Pasti saat ini ia sudah berduaan dengan kasur tersayangnya.

Adisty kembali menoleh ke gerbang berharap ada seorang pria manis dan tampan menghampirinya untuk mengantarnya pulang.

Ia mengucek matanya, memastikan apa yang ia lihat. Namun sudah beberapa kali ia tetap saja mendapati laki-laki yang sedang mengendarai motor hitamnya menuju ke arahnya. Senyum lebar segera tersungging di wajahnya.

Namun seketika senyumnya luntur tatkala melihat motor itu lewat begitu saja di depannya.

"Adimas sialan!" makinya.

Sepertinya ia harus rela mengeluarkan uang lebih untuk menelpon taxi. Jika tidak ntah apa yang akan Bunda dan Ayahnya katakan. Mungkin ia harus menceramahi Dirgantara besok.

Shrinking VioletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang