"Dad, aku akan memikirkan ulang tentang apa yang dad katakan kemarin. Ku rasa tak ada buruknya untuk bersama dengan Viona" kata Adimas dengan wajah datar. Dia tengah di ruang kerja ayahnya.
Sedangkan ayah Adimas hanya menatap anaknya bingung. Ia meletakkan map yang ia baca sebelumnya, kemudian menatap anakmya lekat.
"duduklah dulu, kau bisa bicara baik-baik. Lagipula kalau kau tak mau juga tidak apa-apa"
"tidak. Aku akan tetap melakukan apa yang dad bilang sebelumnya. Dan aku tidak terpaksa melakukannya" balas Adimas dengan mengendikkan bahunya seolah tak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"kau tau bukan, jika kau melakukannya, kemungkinan besar kau dan Adisty tak akan bersama"
"ya aku tau. Lalu kenapa jika aku tak bisa bersama dengannya. Aku tak masalah sekarang. Lagipula, kedepannya aku yang akan menjalankan perusahaan bukan?"
"ya kau memang akan mewarisinya, tapi tetap saja tak baik jika harus mengorbankan kebahagiaan mu son"
"i'm fine pa, i'm happy. Jadi, jangan pikirkan aku dan tetap pada keputusan papa. Biar aku yang akan menjelaskanny pada mama. Aku yakin dia akan mengerti"
Ayah Adimas menghembuskan napas lelahnya sebelum mengiyakan perkataan anaknya.
"baiklah, terserah kau saja. Tapi dengan syarat. Jangan sampai kau menyakiti dirimu dan orang lain. Kau tau betul, Adisty tidak bersalah dalam hal ini. Dia tidak tau apa-apa"
Adimas mengangguk sebelum beranjak keluar. Meninggalkan ayahnya dengan setumpuk kertas, yang Adimas yakin tak lama kemudian dirinya yang akan ada di sana. Dia tidak bisa menghindar lagi.
"Adimas, ada telepon untukmu" kata mama Adimas sedikit berteriak.
"siapa ma? " balas Adimas menghentikan langkahnya.
"Adisty"
Sontak saja wajahnya menjadi datar, "katakan aku sibuk ma, dan mulai sekarang, jangan angkat satu panggilanpun dari dia. Dia tak pantas untuk itu" katanya sebelum kembali berjalan menuju kamarnya, menutup pintu keras.
Adimas yang sekarang bukan lagi Adimas yang dulu, yang selalu bersikap manis di depan siapapun. Dia hanya kembali menjadi dirinya sendiri, bukan Adimas fake.
Dia sudah terlalu lemah selama ini, jadi dia akan menjadi kuat kembali dengan dirinya yang sekarang. Adimas yang asli. Adimas sang pewaris tunggal perusahaan properti terbesar di Indonesia. Bukan Adimas anak SMA yang terlihat konyol hanya untuk satu perempuan.
*******
Satu tahun kemudian
Mobil merah itu melaju dengan kecepatan penuh, membelah jalan dengan begitu lincah. Hingga dirinya sampai di sebuah gedung nan tinggi. Membuka pintu kemudian melempar kuncinya kepada penjaga di sana sebelum berlalu memasuki gedung pencakar langit itu dengan gaya coolnya.
"pagi sir" sapaan dari karyawan itu tak digubris, dia memilih langsung menuju ruangannya yang berada pada lantai sepuluh.
"ke ruangan ku sekarang" katanya tegas ketika melewati meja sekretarisnya, tanpa menoleh sedikitpun.
Hingga kini dirinya telah duduk di kursi kebesarannya dengan latar belakang pemandangan kota yang tampak menakjubkan.
"kita ada meeting dengan AR grup sir guna membahas kerjasama baru, jam sepuluh nanti. Dan... " sekretaris itu menggantung ucapannya, nampak ragu untuk mengatakan.
"bicara yang jelas" sekali lagi seara bariton itu menyentak yang ada di sekitarnya, nampak tak ingin dibantah.
"Dan tunangan Anda akan datang sore ini jam empat sir, dia ingin dinner dengan anda" kata sekretaris itu dengan jelas, bahkan terkesan lancar dan lantang.
"pergilah" segera saja sang sekretaris itu meninggalkan ruangan bosnya.
Adimas menghembuskan napas, entah apa lagi yang akan dirinya alami hari ini. Namun, tumpukan kertas di depannya membuat dirinya sadar, jadi dia tak bisa meninggalkan pekerjaan ini hanya untuk meresapi perasaannya.
Jam sudah menunjukan angka sembilan tigapuluh. Adimas terlalu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tak sadar setengah jam lagi ia akan meeting lagi. Bukannya dia malas, hanya saja rasanya pekerjaan ini tidak ada habisnya. Terkadang dia merasa butuh waktu libur untuk menjauh dari semua ini.
"sir, pihak AR sudah berada di lobi. Kita akan mengadakan meeting di ruang meeting apa di sini saja? "
"di sini saja"
"baik sir" jawab sekretaris Adimas sebelum undur diri.
Adimas mulai menyusun dokumen yang akan ia bahas nanti, kemudian berjalan pelan ke arah sofa dengan meja di tengah ruangannya.
Dia membaca kembali, meneliti jika saja ada yang terlewat. Lalu mengangguk pelan saat dirasa tak ada yang kurang. Adimas menyandarkan punggungnya, sembari membuka handphonenya. Melihat ada beberapa notifikasi pesan yang muncul. Melihat sekilas, sebelum mengetikan kata-kata untuk membalasnya.
Yaa.... Tunangannya lah yang memberinya pesan. Katakanlah jika tunangannya itu ingin dijemput. Tapi Adimas tak ada waktu. Bukankah begitu? Setidaknya dirinya tak membual.
"pihak AR akan datang sepuluh menit lagi sir, mereka harus menyelesaikan seauatu dulu di bawah" kata sekretaris Adimas lagi setelah mengetuk pintu kemudian membukanya. Berkata dengan hormat.
"ya. Saya tak masalah dengan itu. Dan buatkan secangkir teh atau kopi yang mungkin akan diminta oleh pihak AR. Saya ingin kerjasama ini berjalan lancar"
"baik sir" sekali lagi sekretaris Adimas undur diri.
Sepuluh menit berlalu, dan Adimas mulai kesal karena apa yang dikatakan sekretarisnya tidak sesuai. Pintu ruangannya terbuka, belum sempat Adimas mengeluarkan segala kemarahannya. Sesosok perempuan asing datang dengan setelan kerja yang amat rapi, membawa berkas-berkas yang pastinya penting.
"maaf saya telat sir" katanya dengan senyum ramah sebelum duduk di hadapan Adimas.
"ya... Saya bisa menerimanya" balas Adimas singkat.
"bisa kita mulai? " tambah Adimas tak sabar.
"tentu sir" jawab wanita itu ramah dengan senyum tersungging di wajahnya.
Maaf kalo bosenin 😣😣
Aku uda usaha semampu kuu buat up cerita ini, tapi ya... Seperti inilah.Aku tuuu udah nggak ada rasa di cerita ini 😭😭 tapi kalo putus tengah jalan, aku nggak bertanggung jawab dong.
Makanya itu up date nya ala kadarnya. Maaf kalo bosenin 🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Shrinking Violet
Teen FictionAdimas Adisty. Nama itu,.... Bukankah terlihat familiar? Mereka berdua sudah mencoba untuk melupakan satu sama lain. Namun takdir masih tak mau berpisah dengan kisah mereka. Karena ego tinggi mereka, mereka tak bisa merasakan indahnya kebersamaan...